Thursday, March 13, 2014

Anakku korban Bullying (3)

(Bagian ke 3)

Membolos 


Sepekan setelah berpindah dokter, anakku nampak membaik...dan kubujuk ia untuk berangkat sekolah.

Esoknya ia memang berangkat sekolah, namun lagi-lagi ia pulang selepas dhuhur dalam keadaan kambuh lagi. Saya merasakan beban yang berat, bahkan nyaris kehilangan akal.

Apalagi yang harus kulakukan agar ia bisa sehat? Dokter terbaik dari RS terbaik sudah menanganinya, mengapa ia tak juga sehat. Pada bulan April kebetulan ada libur Unas, jadi lumayan untuk menambah waktu istirahat.


Menurut anakku ia telah berusaha menemui Bapak Kasek, namun gagal karena beliau tidak di tempat. Kami melanjutkan pengobatan sambil terus mencari-cari penyebab sesak nafas.

Saya membuatkan kamar khusus bebas debu untuknya. Sprei saya ganti tiap dua hari sekali, Korden juga demikian, tanpa karpet dan barang-barang lain yang bisa menjadi sumber debu. Kebetulan memang kami sedang merenovasi dapur, jadi rumah lumayan berdebu.

Kupilihkan kamar di lantai dua yang paling nyaman dan jauh dari akses debu. Kamar dipel tiap hari dan jendela hanya dibuka di waktu pagi. Kusiapkan aneka perlengkapan layaknya rumah sakit, seperti obat dan alat nebulasi yang kupesan khusus. Jadi tidak harus kami lari-lari ke RS jika ia terkena serangan. Selama ia sakit, sudah beberapa kali kami harus pergi ke RS pada tengah malam sekalipun saat ia mendapat serangan. Dengat alat nebul saya bisa meng-asapi sendiri pada jam berapapun. Makanannya juga sangat kujaga, kujauhkan dari bahan laut yang menjadi alergennya. Demikian pula kecukupan gizinya.

Walaupun tidak sekolah, setiap hari kulihat ia berusaha belajar agar tidak ketinggalan. Teman-temannya dua kali menengok, namun saya tidak ikut menemui menjaga privasi mereka.
Saya dan suami berdiskusi meraba-raba sebab sakitnya. Kami menduga ini psikis karena seringkali serangan datang di pagi hari atau di malam hari.

“Mungkin ia merasa ketinggalan banyak pelajaran jadi tertekan dan merasa tidak sanggup mengejar lagi” demikian pendapat suamiku. Memang praktis 6 minggu ia tidak bersekolah. Ia juga telah melewatkan masa midterm. Sebagai anak yang biasa mendapat nilai bagus, mungkin itu pukulan berat baginya. Kami menjanjikan untuk segera memindahkannya setelah penerimaan rapor kenaikan kelas, jadi ia kami minta bersabar hingga satu bulan lagi.

Usaha kami secara medis dan psikis membawa hasil, anakku berangsur membaik sehingga saat kontrol lagi, dokter mengatakan:
“Besok sekolah ya mas, kamu sudah sembuh...tapi selalu pakai masker jika berkendara...Banyak berolah raga, jangan main game. Makannya juga harus banyak biar tidak sekurus ini”

Anakku mengiyakan dan esoknya ia memang berangkat sekolah. Itu hari Kamis. Hari Jumat ia mengatakan lemas dan tidak mau berangkat lagi. Hari Sabtu juga tidak berangkat, padahal temannya sudah memesan agar ia datang mengambil nomer pengenal ujian semester. Berhubung hari Senin ujian, maka berangkatlah anakku dalam keadaan masih agak sesak.

Jam 09.00 saya mendapat telepon dari rumah. Dua gurunya datang bertamu. Bergegas saya pulang  dari kantor dan mendapati ibu Wali kelas serta guru BP duduk di ruang tamuku. Saya merasa sangat tidak enak.
Ternyata anakku tidak sampai di sekolah!
Seolah petir menyambar di siang bolong!!

Bahkan menurut laporan guru, sejak pulang umrah ia belum pernah masuk sekolah.
Deg!
Seakan jantungku berhenti berdenyut.

Saya berusaha menjelaskan bahwa ia memang sakit, namun selalu berusaha sekolah saat agak sehat, jadi sekitar 4 kali ia berangkat dan sering pulang dalam keadaan kambuh. Versi bu guru, ia tak pernah masuk sekolah. Titik.
Bahkan berkembang isu tak sedap misalnya ia pergi ke game online dan merokok. Haduh.

Sampai di sini, kira-kira bisa dibayangkan bagaimana wajahku, hatiku, perasaanku.
Seumur-umur punya enam anak belum pernah mengalami kasus ini. Kulihat betapa baiknya ia di tanah suci. Kulihat betapa menderitanya ia sesak nafas dan bagaimana kami berusaha merawatnya. Bolak-balik antri di rumah sakit hingga jauh malam. Kadang pamit kerja untuk datang ke sekolahnya. Namun kemana ia selama ini jika beberapa kali mengaku berangkat sekolah?
Buntu.

Saya berusaha meneleponnya, hpnya mati. Jadi kutenangkan hati dan meminta maaf. Saya berjanji esok pagi akan ke sekolah untuk menjelaskan setelah bertanya pada anakku. Gurunya juga menjelaskan bahwa kemungkinan anakku tidak akan naik kelas karena presensinya tidak memadai, ketuntasannya belum dan tidak mengikuti mid. Sekarang juga terdiskualifikasi untuk ujian kenaikan kelas. Yah, saya tak akan membantah. Gurunya juga menasehati agar kami tidak terlalu sibuk hingga lalai mengawasi anak...

Duuh gusti, apakah memang benar demikian? Kami telah berusaha melakukan yang terbaik. Bukankah hingga 8 minggu yang lalu ia masih menjadi siswa kebanggaan sekolah. Mengapa bisa berbalik menjadi gosip bahwa anakku adalah anak nakal tukang membolos, main game dan merokok.

Inikah ujianku ya Allah? 
Saya yang seringkali berceramah tentang pendidikan anak, bahkan hingga ke banyak kota di Indonesia. Saya yang sering menerima konsultasi dan melakukan pendampingan anak-anak yang bermasalah...sekarang seperti dipurukkan pada situasi yang sebaliknya. Anakku sendiri menjadi kasusku!

Bagaimana kenyataanya? Kemana anakku selama ini saat ia pamit ke sekolah?
(bersambung ke bag. 4)

Postingan pertama di sini.

Postingan kedua di situ.

12 comments: