Perawakannya
kecil dengan kulit yang gelap. Tak disangka kekuatannya sungguh luar biasa. Aku
pernah melihatnya menyunggu beras seberat 25 kg dengan kepalanya, dan tangannya
melenggang menghitung uang.
Pak Sudar.
Begitu kami memanggilnya, telah tinggal bersama kami sejak rumah kami dibangun.
Ia menjadi salah seorang pekerjanya. Nama aslinya sungguh bagus, Badaruddin.
Namun karena orang Jawa, maka is dipanggil Sudar.
Pak Sudar
tidak lulus SD, jika menulis tulisannya susah dibaca dan tidak sempurna. Misal
menulis kata ‘menyambung’...maka bisa
dipastikan tanpa huruf m...
Namun
sungguh ia pekerja yang luar biasa tak kenal lelah. Jika mengerjakan segala
sesuatu berusaha untuk sesempurna mungkin. Sempurna menurutnya sendiri, kadang
tidak terlalu semuai dengan kemauan kami. Namunkami tak mempermasalahkan itu,
karena ia baik dan berniat baik.
Setiap pagi
pak Sudar mencetak batako di depan kebun samping rumahku. Ia pernah menerangkan
padaku berapa modal yang ia butuhkan untuk membeli pasir dan semen, bahan utama
batakonya.
Batakonya
sungguh kuat, orang-orang mempercayainya dan sering memesan padanya. Sekitar
jam setengah delapan, ia akan menyelesaikan pekerjaannya. Seberapapun yang ia
peroleh. Lalu ia bersiap berangkat kerja, kemana orang memanggilnya untuk
proyek membangun rumah, sekolah atau masjid.
Sore hari
begitu pula yang dilakukannya, jam setengah lima ia pulang dan langsung
melanjutkan mencetak batako. Hingga menjelang adzan maghrib, barulah ia
berhenti, membersihkan diri dan bergegas ke masjid.
Jika
batakonya telah menggunung, maka ada saja yang membeli, pak Sudar akan menyewa
mobil untuk mengangkut batako ke lokasi pembeli. Inilah saat kegembiraan karena
ia akan menerima uang yang tidak sedikit.
Karena ia
bekerja, dan dulu makan bersama kami selama bertahun-tahun, uang pak sudar
menunpuk hingga ia bisa membeli tanah, membangun rumah dan memiliki dua motor.
Tentang
rumah yang dibangunnya, sungguh unik. Nyaris ia mengerjakannya sendiri. Kecuali
saat menggali fondasi dan menaikkan atap. Batakonya hasil cetakan dia sendiri.
Beberapa bahan adalah sisa bahan bangunan dari rumah kami atau orang-orang yang
memberinya di tempat ia bekerja. Daur ulang sebagian. Jadi lantai rumahnya
sungguh berwarna-warni dengan tegel keramik aneka motif.
Rumah yang
sungguh hasil keringatnya sendiri, lantaran ia selalu membangun di pagi dan
petang bahkan hingga malam hari. Sendiri. Meninggikan tembok, memasang kusen,
melepo dengan semen, memasang genting dan mengecat dindingnya. Hasilnya
ternyata menjadi rumah yang cukup bagus, tak kalah dengan penampilan perumahan
kelas menengah.
Tentang
keluarganya adalah misteri. Pak Sudar tak pernah menceritakan keluarganya, satu
patah katapun. Dan kami enggan mengusiknya dengan pertanyaan seputar itu. Dari
beberapa teman kami tahu sedikit cerita suram dari masa lalunya. Namun kami tak
mempermasalahkannya.
Di sisi
lain, ia sungguh suka bergaul dan cukup sosial. Jika ada rombongan bersepeda
pada hari Ahad, ia akan menjadi peserta wajib. Sayangnya ia tak sabar menanti
teman-teman yang tak sekuat dirinya. Seringkali ia menggenjot sepedanya dengan
kuat melaju...hingga samapai ke tempat tujuan dan segera balik lagi saat
temannya belum sampai. Walhasil, ia justru selalu kehilangan momen makan-makan
pagi bersama, lantaran telah pulang duluan.
Demikian
pula jika muda-mudi piknik ke luar kota, kemanapun, ia tak mau ketinggalan
berwisata bersama anak-anak remaja kampung. Suatu ketika ia meminjam kamera
untuk pergi piknik ke Purwokerto. Dengan senang hati, kami meminjaminya.
Rupanya ia tak begitu faham cara menggunakannya walaupn sudah kami beritahuan.
Hasilnya
adalah ia memakai mode video namun hanya terpotong-potong seperti memotret.
Kadang ada rekaman panjang justru gambar tanah saat ia tenteng kamera itu.
Fotonya sendiri hanya satu yang jadi, saat ia berpose di depan air terjun.
Mungkin temannya yang memotret. Gambarnya sungguh gelap. Dengan kulitnya yang
legam, dan jaket warna gelap, ia nyaris tidak kelihatan....kecuali mata dan
giginya.
Pak Dar juga
dermawan. Ia sukarela menyumbangkan
tenaganya untuk renovasi mushola atau masjid. Ia kerjakan malam hari, selepas
isya, hingga tengah malam. Dan karena ia kurang bisa memaklumi kekurangan orang
dalam mengerjakan urusan pertukangan, maka ia mengerjakannya sendirian. Orang
lain bekerja di siang hari.
Jika hari Ahad
bekerja bakti membangun mushola atau masjid juga. Dan pada malam hari, ia akan
melanjutkan pekerjaannya sendirian dan memperbaiki hasil yang menurutnya kurang
bagus. Manajemen yang sedikit aneh bagiku, lantaran tanpa komunikasi.
Namun
setelah jadi, mushola itupun nampak indah, jadi kami juga memujinya.
Pak Sudar
suka belajar. Walaupun ia tak begitu mengerti istilah dan dimensi dalam
berhitung, namun prinsip-prinsip dasar bangunan ia tahu. Karena rumah kami
adalah rumah tumbuh, beberapa bagian adalah murni hasil karyanya. Artinya dialah
pimpro dan arsiteknya. Hasilnya tidak mengecewakan, kecuali sedikit catatan
dalam urusan atap. Ada saja yang bocor.
Ilmu
pertukangannya ia serap dari keikutsertaannya dalam berbagai proyek
pembangunan. Sehingga ia mengetahui komposisi campuran semen dan hasilnya,
besarnya tulang untuk besi pilar dan fondasi, lebar atap dan lain-lain
renik-renik bangunan. Sekalipun tidak sempurna betul karena kadang juga sedikit
menggelikan. Misal kalau ia menyebut cm dengan derajat...jadi kita harus bisa
menangkap maksudnya.
Ia suka
belajar hal baru, seperti menyetir mobil. Walaupun akibatnya mobil kami bonyok
di semua sudut dan tembok pagar jebol. Atau mobil masuk ke sawah...namun
akhirnya bisa juga ia menyetir dengan mahir, sekalipun tidak bisa mengurus SIM,
lantaran tak punya KTP. Bahkan beberapa orang minta belajar menyetir darinya
haha....dah jadi mentor juga.
Pak Dar juga
rajin sholat dan mengaji. Setiap malam ia membaca Qur’an dengan fasih layaknya
santri, sekalipun ia belajar mengaji setelah berumur. Sayangnya ia masih
meyakini tentang beberapa kepercayaan seperti puasa mutih 40 hari. Pada saat
itu ia hanya akan makan nasi putih dan air putih. Tapi tetap tak mau makan bak
pao sekalipun warnanya juga putih. Pada saat ia ‘nglakoni’ itu, aku melihat ia
juga puasa merokok lantaran termasuk
larangan juga menurut yang diyakini. Walaupun bungkus rokok warnanya putih.
Saat itulah
bau khas-nya sedikit berkurang. Biasanya ia sangat berbau rokok, sekalipun kita
berjarak 10 meter....
Jika sakit,
obatnya sungguh mudah. Ia akan memintaku membawakan puyer kesukaannya :
“ Bu, tolong
bawakan puyer no 19...”
Dan karena
aku hanya menemukan puyer no 16, maka kuserahkan saja sambil kupesankan :
“
...bintangnya tujuhnya hanya 16 pak, tolong yang 3 tambahin sendiri...”
Dan tentu ia
tetap meminumnya. Aku tak tahu, apakah memang ada puyer no 19, ataukah ia yang
salah membaca.
Bagaimanapun
ia sangat berjasa, telah membangun rumah kami dan turut menjaga keamanan rumah,
sekalipun sesekali terlewat dan pencuri bisa mengelabuinya juga.
Ah, tetap terimakasih saja untuk pak Dar.
Kisah pekerja
keras lainnya lihat di sini.
Masya Allah .. pribadi yang unik dan hebat, Mak :)
ReplyDeleteWaah Mak Ida sudah posting di atas GA-nya ya ... mudah2an pesertanya makin banyak. ^_^
dapat ilmu dariimu mak, makasih ya...peluuk
DeleteSubhanalloh belajar dari Mak Ida niih selain kerja keras Pa Sudar juga salut buat Mak Ida mau minjemin kamera sama yg ga ngerti ga takut rusak...., rela mobilnya penyok-penyok.... inspiratif Mak... :)
ReplyDeletedulu semasa kakekku masih hidup juga mirip dengan karakter pak Dar, bahkan sampai sakit parah menjelang akhir hidupnya pun masih merokok.
ReplyDeletetapi dari orang-orang macam pak Dar ini justru harusnya kita iri sama semangat dan kerja kerasnya ya, mak.. :)