Friday, March 7, 2014

KISAH PEKERJA KERAS LAGI


Perawakannya kecil dengan kulit yang gelap. Tak disangka kekuatannya sungguh luar biasa. Aku pernah melihatnya menyunggu beras seberat 25 kg dengan kepalanya, dan tangannya melenggang menghitung uang.

Pak Sudar. Begitu kami memanggilnya, telah tinggal bersama kami sejak rumah kami dibangun. Ia menjadi salah seorang pekerjanya. Nama aslinya sungguh bagus, Badaruddin. Namun karena orang Jawa, maka is dipanggil Sudar.

Pak Sudar tidak lulus SD, jika menulis tulisannya susah dibaca dan tidak sempurna. Misal menulis kata ‘menyambung’...maka bisa dipastikan tanpa huruf m...
Namun sungguh ia pekerja yang luar biasa tak kenal lelah. Jika mengerjakan segala sesuatu berusaha untuk sesempurna mungkin. Sempurna menurutnya sendiri, kadang tidak terlalu semuai dengan kemauan kami. Namunkami tak mempermasalahkan itu, karena ia baik dan berniat baik.


Setiap pagi pak Sudar mencetak batako di depan kebun samping rumahku. Ia pernah menerangkan padaku berapa modal yang ia butuhkan untuk membeli pasir dan semen, bahan utama batakonya.

Batakonya sungguh kuat, orang-orang mempercayainya dan sering memesan padanya. Sekitar jam setengah delapan, ia akan menyelesaikan pekerjaannya. Seberapapun yang ia peroleh. Lalu ia bersiap berangkat kerja, kemana orang memanggilnya untuk proyek membangun rumah, sekolah atau masjid.

Sore hari begitu pula yang dilakukannya, jam setengah lima ia pulang dan langsung melanjutkan mencetak batako. Hingga menjelang adzan maghrib, barulah ia berhenti, membersihkan diri dan bergegas ke masjid.

Jika batakonya telah menggunung, maka ada saja yang membeli, pak Sudar akan menyewa mobil untuk mengangkut batako ke lokasi pembeli. Inilah saat kegembiraan karena ia akan menerima uang yang tidak sedikit.

Karena ia bekerja, dan dulu makan bersama kami selama bertahun-tahun, uang pak sudar menunpuk hingga ia bisa membeli tanah, membangun rumah dan memiliki dua motor.

Tentang rumah yang dibangunnya, sungguh unik. Nyaris ia mengerjakannya sendiri. Kecuali saat menggali fondasi dan menaikkan atap. Batakonya hasil cetakan dia sendiri. Beberapa bahan adalah sisa bahan bangunan dari rumah kami atau orang-orang yang memberinya di tempat ia bekerja. Daur ulang sebagian. Jadi lantai rumahnya sungguh berwarna-warni dengan tegel keramik aneka motif.

Rumah yang sungguh hasil keringatnya sendiri, lantaran ia selalu membangun di pagi dan petang bahkan hingga malam hari. Sendiri. Meninggikan tembok, memasang kusen, melepo dengan semen, memasang genting dan mengecat dindingnya. Hasilnya ternyata menjadi rumah yang cukup bagus, tak kalah dengan penampilan perumahan kelas menengah.

Tentang keluarganya adalah misteri. Pak Sudar tak pernah menceritakan keluarganya, satu patah katapun. Dan kami enggan mengusiknya dengan pertanyaan seputar itu. Dari beberapa teman kami tahu sedikit cerita suram dari masa lalunya. Namun kami tak mempermasalahkannya.

Di sisi lain, ia sungguh suka bergaul dan cukup sosial. Jika ada rombongan bersepeda pada hari Ahad, ia akan menjadi peserta wajib. Sayangnya ia tak sabar menanti teman-teman yang tak sekuat dirinya. Seringkali ia menggenjot sepedanya dengan kuat melaju...hingga samapai ke tempat tujuan dan segera balik lagi saat temannya belum sampai. Walhasil, ia justru selalu kehilangan momen makan-makan pagi bersama, lantaran telah pulang duluan.

Demikian pula jika muda-mudi piknik ke luar kota, kemanapun, ia tak mau ketinggalan berwisata bersama anak-anak remaja kampung. Suatu ketika ia meminjam kamera untuk pergi piknik ke Purwokerto. Dengan senang hati, kami meminjaminya. Rupanya ia tak begitu faham cara menggunakannya walaupn sudah kami beritahuan.

Hasilnya adalah ia memakai mode video namun hanya terpotong-potong seperti memotret. Kadang ada rekaman panjang justru gambar tanah saat ia tenteng kamera itu. Fotonya sendiri hanya satu yang jadi, saat ia berpose di depan air terjun. Mungkin temannya yang memotret. Gambarnya sungguh gelap. Dengan kulitnya yang legam, dan jaket warna gelap, ia nyaris tidak kelihatan....kecuali mata dan giginya.

Pak Dar juga dermawan. Ia sukarela  menyumbangkan tenaganya untuk renovasi mushola atau masjid. Ia kerjakan malam hari, selepas isya, hingga tengah malam. Dan karena ia kurang bisa memaklumi kekurangan orang dalam mengerjakan urusan pertukangan, maka ia mengerjakannya sendirian. Orang lain bekerja di siang hari.

Jika hari Ahad bekerja bakti membangun mushola atau masjid juga. Dan pada malam hari, ia akan melanjutkan pekerjaannya sendirian dan memperbaiki hasil yang menurutnya kurang bagus. Manajemen yang sedikit aneh bagiku, lantaran tanpa komunikasi.
Namun setelah jadi, mushola itupun nampak indah, jadi kami juga memujinya.

Pak Sudar suka belajar. Walaupun ia tak begitu mengerti istilah dan dimensi dalam berhitung, namun prinsip-prinsip dasar bangunan ia tahu. Karena rumah kami adalah rumah tumbuh, beberapa bagian adalah murni hasil karyanya. Artinya dialah pimpro dan arsiteknya. Hasilnya tidak mengecewakan, kecuali sedikit catatan dalam urusan atap. Ada saja yang bocor.

Ilmu pertukangannya ia serap dari keikutsertaannya dalam berbagai proyek pembangunan. Sehingga ia mengetahui komposisi campuran semen dan hasilnya, besarnya tulang untuk besi pilar dan fondasi, lebar atap dan lain-lain renik-renik bangunan. Sekalipun tidak sempurna betul karena kadang juga sedikit menggelikan. Misal kalau ia menyebut cm dengan derajat...jadi kita harus bisa menangkap maksudnya.

Ia suka belajar hal baru, seperti menyetir mobil. Walaupun akibatnya mobil kami bonyok di semua sudut dan tembok pagar jebol. Atau mobil masuk ke sawah...namun akhirnya bisa juga ia menyetir dengan mahir, sekalipun tidak bisa mengurus SIM, lantaran tak punya KTP. Bahkan beberapa orang minta belajar menyetir darinya haha....dah jadi mentor juga.

Pak Dar juga rajin sholat dan mengaji. Setiap malam ia membaca Qur’an dengan fasih layaknya santri, sekalipun ia belajar mengaji setelah berumur. Sayangnya ia masih meyakini tentang beberapa kepercayaan seperti puasa mutih 40 hari. Pada saat itu ia hanya akan makan nasi putih dan air putih. Tapi tetap tak mau makan bak pao sekalipun warnanya juga putih. Pada saat ia ‘nglakoni’ itu, aku melihat ia juga puasa  merokok lantaran termasuk larangan juga menurut yang diyakini. Walaupun bungkus rokok warnanya putih.
Saat itulah bau khas-nya sedikit berkurang. Biasanya ia sangat berbau rokok, sekalipun kita berjarak 10 meter....

Jika sakit, obatnya sungguh mudah. Ia akan memintaku membawakan puyer kesukaannya :
“ Bu, tolong bawakan puyer no 19...”
Dan karena aku hanya menemukan puyer no 16, maka kuserahkan saja sambil kupesankan :
“ ...bintangnya tujuhnya hanya 16 pak, tolong yang 3 tambahin sendiri...”
Dan tentu ia tetap meminumnya. Aku tak tahu, apakah memang ada puyer no 19, ataukah ia yang salah membaca.

Bagaimanapun ia sangat berjasa, telah membangun rumah kami dan turut menjaga keamanan rumah, sekalipun sesekali terlewat dan pencuri bisa mengelabuinya juga.
Ah,  tetap terimakasih saja untuk pak Dar.

Kisah pekerja keras lainnya lihat di sini.

4 comments:

  1. Masya Allah .. pribadi yang unik dan hebat, Mak :)

    Waah Mak Ida sudah posting di atas GA-nya ya ... mudah2an pesertanya makin banyak. ^_^

    ReplyDelete
  2. Subhanalloh belajar dari Mak Ida niih selain kerja keras Pa Sudar juga salut buat Mak Ida mau minjemin kamera sama yg ga ngerti ga takut rusak...., rela mobilnya penyok-penyok.... inspiratif Mak... :)

    ReplyDelete
  3. dulu semasa kakekku masih hidup juga mirip dengan karakter pak Dar, bahkan sampai sakit parah menjelang akhir hidupnya pun masih merokok.

    tapi dari orang-orang macam pak Dar ini justru harusnya kita iri sama semangat dan kerja kerasnya ya, mak.. :)

    ReplyDelete