Sunday, June 22, 2014

Sikap Suami dan Doa Istri



Seorang ibu pernah bertanya padaku:
“Bu bolehkan saya berdoa agar Allah jadikan saya adalah istri satu-satunya untuk suami saya?”
Saya tersenyum saja masih menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Setiap habis sholat, saya berdoa agar suami saya setia hanya mencintai saya dan tak pernah tergoda perempuan lain...”
Saya ingin tertawa, tapi tidak saya lakukan karena ibu di depan saya bermimik serius.
Bukankah pasti ada yang melatarbelakangi sikapnya.

Jadi apa komentar saya?


“Tak ada larangan untuk melafalkan doa apa saja selama itu adalah kebaikan. Doa terbaik berasal dari ayat-ayat Alquran dan hadist nabi. Kita boleh mengambil doa para sahabat dan para ulama. Kita juga boleh menyusun doa kita sendiri. Yang penting doa kita ikhlash. Berharap hanya pada allah dan rela apapun keputusanNya. Enggak marah jika pengabulannya tidak sesuai harapan kita...”

“Jadi berdoa seperti tadi...boleh?” Ia sepertinya belum sepenuhnya menangkap maksudku. Atau saya yang menjawabnya kurang jelas.
“Doa akan lebih majas kalau disertai usaha dan tindakan nyata.

 Misal seseorang berdoa suaminya setia, namun ia tidak setia. Ia berdoa menjadi istri tercinta yang paling disukai suaminya, namun akhlaqnya membuat suami mau muntah...itu misalnya lho bu. Maksud saya, ibu boleh saja berdoa, namun doa itu akan menjadi kenyataan jika ibu telah bisa menawan hati suami melalui akhlaq ibu....”

“Tanyakan pada diri sendiri: Apakah aku layak untuk dicintai dalam waktu lama? Apakah aku layak untuk menjadi ‘satu-satunya’ bagi suami...?
Belajarlah pada Khadijah yang selama dua puluh lima tahun hingga meninggalnya tak pernah dimadu oleh Rasulullah...karena Rasulullah menemukan semua kebutuhannya pada Khadijah...”
Ia manggut-manggut. Semoga ia faham ya...

Eh para pembaca  jangan salah faham ya. Saya bukan menentang poligami, atau pendukung poligami. Sebagai syariat, kita harus menerima bahwa itu hukum Allah yang memang adanya untuk diterapkan pada situasi yang tepat.

Dalam kasus diatas, saya tidak menggali masa lalu riwayat rumah tangga mereka yang mungkin menjadikan ibu itu bersikap demikian. Saya fokus pada situasi saat ini dan ke depan. Dan tentu saya hanya bisa menasehati yang bertanya. Jika yang bertanya istri, maka saya hanya menasehati istri. Mana mungkin saya mengintervensi suaminya sedangkan ia tidak pernah menyerahkan urusannya pada saya.

Terkadang yang tidak memahami ini menganggap saya tidak adil dan menuduh saya hanya menyalahkan fihak perempuan. Saya akan berkata:
“Hadirkan suami ibu agar saya juga bisa menasehatinya. Saya tidak akan mengintervensi seseorang yang tidak membutuhkan saya. Karena ibu yang datang, maka nasehat saya untuk ibu. Bukankah lebih mudah merubah diri ibu  sendiri dari pada ibu merubah suami ibu. Jika ibu telah memantaskan diri untuk kualitas yang baik, selanjutnya Allah yang akan memantaskan jodoh untuk ibu...”
Sebagai penutup, mungkin kisah yang terjadi di masa Harun Al-Rasyid berkuasa di bawah ini, bisa menjadi pencerahan.

Diceritakan, terdapatlah seorang wanita muda yang cantik dan sholehah, namun bersuamikan seorang laki-laki tua yang buruk rupa, buruk pula perangainya. Mereka tinggal di sebuah kemah di pinggir desa.

Ia kedatangan seorang tamu laki-laki, yang lalu disuruhnya menunggu dikejauhan hingga suaminya pulang. Ketika datang suaminya, bergegaslah wanita itu mengambil air, kemudian membasuh tangan dan kaki suaminya. Suaminya tidak menunjukkan sikap yang simpatik atas pelayanan istrinya.

Sang tamu heran atas sikap suami tersebut, lebih-lebih sikap sang istri yang menghormati suaminya sedemikian rupa.
Sang tamu berkomentar. Mengapa sang wanita harus bersusah payah berkhidmat sedemikian rupa padahal suaminya sudah tua, buruk rupa dan kasar.

Atas komentar tamu tersebut, sang wanita menjawab.
"Aku mendengar Rasulullah bersabda, bahwa iman terbagi menjadi dua. Separuh dalam syukur dan separuh dalam sabar.

Aku sangat bersyukur Allah menganugerahkan kepadaku wajah yang cantik. Maka aku ingin meyempurnakan separuhnya dengan bersabar atas perlakuan suamiku."
Sebenarnya saya kesulitan mencari sumber cerita ini karena saya pernah membacanya di buku, tapi lupa buku yang mana. Hanya saja kisah ini sangat menarik untuk melihat sesuatu dengan suatu sudut pandang: sudut pandang ladang pahala.

Setiap nikmat dan mushibah hanya akan membawa manfaat jika kita memiliki dua sikap dalam menerimanya: shabar dan syukur.

Nah, masih adakah perempuan serupa itu di jaman ini?

Bantu saya menemukannya.

8 comments:

  1. Kayaknya saya juga pernah dengar cerita yg terakhir mak...tp lupa jg dengar dimn dan darimana...
    Mksh mak sharingnya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya sama-sama mak. makasih telah berkunjung mak Hanna

      Delete
  2. masih ada kug wanita yang seperti itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah, semoga banyak perempuan sholihah ya

      Delete
  3. semoga saja bisa dapet istri yang seperti itu

    ReplyDelete
  4. Doa dengan usaha ya Maaks...

    ReplyDelete