Saturday, August 9, 2014

Inspirasi, Keyakinan dan Doa untuk Rumah Impian.



Ini tulisan ke tiga dari 4 tulisan.
Tulisan pertama di sini.
Tulisan ke dua di sini.

Garasi rumah untuk acara PKK dan Dasawisma

Eh kilas balik dulu ke tahun 1998 saat krismon pada masa kejatuhan orde baru. Nilai tukar dolar meroket dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 20.000.

Kondisi ekonomi masyarakat sungguh berat. Tak terkecuali kondisi kami. Saya kerja di 3 tempat. Suamiku mengajar di 5 kampus  sebagai dosen tidak tetap. Tetap saja sangat berat karena selain punya 4 anak, saya juga menanggung biaya kuliah adik saya.  

Suatu hari ada seorang kakak kelas yang menjemputku. Mbak Nur Azizah namanya.

“Kamu harus ikutan untuk melihat rumah baruku...”
Kakak kelas ini suaminya dosen yang belum lama pulang dari menempuh S3 di Inggris. Dulu waktu ditinggal suaminya ke Inggris beliau mengontrak rumah bertetanggaan dengan rumah kontrakan kami yang ke 4. Jadi motivasinya memamerkan rumah adalah agar kami juga bersemangat punya rumah.

Sepanjang jalan beliau cerita bagaimana perjuangannya membangun rumah. Saat sampai di rumahnya saya terpana. Rumahnya besar dan bagus dengan bahan-bahan pilihan dan mebel pilihan.

Beliau menyuguhiku dengan makanan enak yang berlimpah. Lauk pauk dan buah-buahan. Sebenarnya saya makan sambil menahan tangis ingat anak-anak di rumah yang makan dengan lauk seadanya. Untuk membeli susu juga kesulitan.
“Kudoakan kamu segera punya rumah yang besar...” kata mbak Nung.
“Lah uangnya dari mana mbak...?” Kataku sambil menggigit bibir.

“Heh istighfar kamu, gak boleh ngomong begitu. Allah Maha Kaya...kamu harus yakin bahwa suatu saat Allah beri kemampuan kamu untuk memiliki rumah besar yang barokah...”

Blarr!!
Seperti dipukul palu godam...Saya menangis sambil mengaminkan doanya. Menangis mengingat kemampuan ekonomi kami dan dan menangis karena menyesal telah bersangka buruk pada taqdir Allah. Memang tidak mudah ya membangun mimpi dalam dari dalam jurang.

Saya mengaminkan berkali-kali dan mohon doa pada mbak Nung tersebut agar dimudahkan memiliki rumah sendiri. Pada kenyataannya 10 tahun kemudian kami baru bisa membeli tanah yang kami tempati saat ini.

Di garasi juga untuk perpus dan training perawatan jenazah.

Flashback lebih ke belakang lagi ya.
Tahun 1995, saat itu saya punya 2 anak. Kami mengantar pindahan kakak ipar yang telah berhasil membangun rumah. Rumah kakak ipar ini benar dibangun dengan tangannya sendiri.

Beliau adalah kepala sekolah SD. Suami istri tadinya guru, lalu kakak ipar menjadi KS dan mendapat rumah dinas yang sangat kecil. Setiap libur sekolah, kakak membuat batu bata. Begitu seterusnya hingga batu bata dianggap cukup dan mereka mulai membangun rumah.

Saat pindahan itu putri sulungnya kelas 6 SD, rumah kakak baru setengah jadi. Calonnya sih rumah lumayan bagus. Tapi belum dilepo, jadi batu batanya masih kelihatan dari luar maupun dari dalam. Lantainya masih plesteran semen, belum dikeramik. Belum diberi eternit juga.

Ibu saya dan ibu mertua mendoakan banyak kebaikan untuk kakak ipar yang berbahagia.
Saya mengamati rumah kakak dan berfikir, kapan ya bisa punya rumah?


Seolah mendengar kata hati saya, Ibu mertua ngendiko:
“Kudoakan besok mbak Ida dan mas Cahyadi bisa punya rumah yang lebih besar, lebih luas lebih bagus...” doa ibu mertua saya.
“Amiinnnn...” kata ibu saya dengan mantap.
“Amiinn...”kataku pula sambil dalam hati bertanya: ‘Kapan? Darimana uangnya...?’

Itulah pikiran sempit keluarga muda yang sedang berjuang dalam himpitan ekonomi. Pikiran buruk yang kemudian kusesali dan aku bertobat atas semua itu.

Flashback lagi ke tahun 1993. Tahun ke tiga penikahan kami.
Suatu ketika suamiku bercerita diajak pergi dan ditraktir oleh seorang ustadz. Beliau adalah ustadz sekaligus penulis buku di Jakarta.
“Ustadz itu bercerita bahwa beliau membangun rumah dan membeli mobil dari menulis dan menterjemahkan buku...gimana kok bisa ya...?” kata suamiku.

Kami tak habis pikir. Bagaimana mungkin menulis buku bisa untuk hidup. Saat itu suamiku telah menyelesaikan buku pertamanya. Sebenarnya laku keras, tapi beliau masih memakai nama samaran. Lucunya bahkan malu bertemu penggemar dan kadang memilih untuk tidak mengakui jati dirinya.
Cerita ustadz itu sungguh menginspirasi sehingga suamiku makin rajin menulis dan terus menulis.

Efek domino dari menulis adalah diundang bedah buku, mengisi seminar dan pelatihan hingga ke luar negeri. Dan itulah yang ternyata menjadi gantungan hingga kami bisa membangun rumah. Kalau menjadi dosen dan apoteker cukuplah untuk biaya makan sehari-hari.

garasi juga tempat berkreasi bersama anak-anak tetangga

Kembali ke ceritaku sebelumnya di rumah kontrakan ke 6.
“Aku nggak mau pindah dari sini sebelum punya rumah sendiri...”ancamku dengan serius tapi cantik. Yah... waktu itu masih cantik #halah.

Rumah keenam itu makin lama makin tidak memadai. Hanya punya tiga kamar tidur sementara kami punya dua pembantu, ada ibuku, ada kemenakanku dan anakku 5. Huaa... suamiku dan anak-anak sering tidur di ruang tengah. Mana ia tak dapat pergi ke halaman belakang karena banyak anak kost. Tiap tahun kami menambah satu kamar menggantikan anak kost yang lulus, untuk kami pakai sebagai ruang ngaji, ruang tamu atau kamar pembantu.

Yang paling tidak nyaman sebenarnya suamiku, tidak bisa menikmati halaman belakang. Maka mendengar ancaman cantik tadi beliau semakin semangat untuk mulai mewujudkan rumah impian.

Kuingat lagi sebuah momen yang menginspirasi. Adalah seniorku mbak Lilik dan mas Body. Mereka barusan menyelesaikan rumah bambu yang indah. Itu juga rumah pertama mereka yang mereka beli lahannya bersama pembebasan tanah untuk yayasan pendidikan yang mereka dirikan.

Penasaran dengan rumah baru mereka, kami sengaja datang berkunjung saat hari Raya Idhul Adha. Itu baru dua bulan sejak kepindahan mereka.

“Kami membangun rumah ini modalnya sejuta Dik...” kata mbak Lilik.
“Hah...yang betul Mbak?!” kataku penasaran. Senggol mak irits Rahmi Aziza.


(bersambung)

33 comments:

  1. Haha aku disenggol-senggol. Tau aja mak, hal kayak gini yang lagi berkecamuk di pikiranku. Pengen banget punya rumah yang lebih luas, tapi kalo dihitung secara matematis serasa ga mungkin. Saat ini penghasilan pas-pasan. Meski nabung, tapi harga rumah n tanah makin lama kan makin naik. Tapi selalu berhusnudzon, kuasa Alloh siapa yang tahu ya Mak. Kalo Alloh sudah berkehendak, kun fayakun :)

    Makasih tulisannya Mak, membuatku semangat, dan berpikiran positif :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oya tapi kenapa harus bersambung sih, penasaran banget aku. Sejuta bangun rumah bisa jadi apa? Hehehe?

      Delete
    2. mak Rahmi...Allah Maha Kaya...nabungnya bukan hanya uang...amal sholih juga tabungan dunia...

      Delete
  2. mbak, penasaaran sama cerita lanjutannya, nih ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. tunggu ya mak Myra...salam buat Keke-Nai dan eyangnya...

      Delete
  3. Suka banget sama ceritanya .... kebetulan saat ini aku juga lagi punya keinginan besar untuk beli rumah .... kisah ini bisa jadi vitamin hati yang menambah keyakinan untuk segera bisa punya rumah ideal :)

    Thanks sharingnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. begitulah maksud tulisan ini. bukan pamer tapi mengajak untuk berbesar hati, berpengharapan dan semangaaattt.

      Delete
  4. Replies
    1. sabar ya...semoga besok pagi tayang.makasih sudah mampir mbak April

      Delete
  5. waah mbak, jadi bertanya-tanya ttg kelanjutannya. susah ya mbak punya rumah? apalagi sekarang apa-apa mahal. saya jadi serem, nikah dulu apa nunggu punya rumah dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. susang enggak susah enggak...jangan serem ya...tunggu saja

      Delete
  6. itu garasi apa ruang serba guna mak? hihihi

    ReplyDelete
  7. sangat menginspirasi mbk, saya juga kepengen bikir rumah impian. Aamiin semoga terwujud segera.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya doakan mbak Mega segera dimudahkan mendapat rumah impian amiin

      Delete
  8. hmmm...tiba-tiba jadi bertanya pada diri sendiri, saatnya nanti saya ingin juga punya rumah sendiri, masih adakah lahannya kah? apalagi Jakarta sekarang sudah full bangunan hihihi.


    Ditunggu cerita selanjutnya mbak hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. kan gak harus di jakarta mak...ayo ke Jogja berhati nyaman....

      Delete
  9. Lalu ikut terjleb sama omongannya kawannya mak ida.. *lalu semakin semangat berusaha mewujudkan rumah idaman*

    ReplyDelete
  10. terimakasih inspirasinya mak, jadi semangat mengejar target,,
    emang harus selalu optimis ya mak, karena Allah Maha Kaya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Allah maha kaya...yup itu kata kunci optimis...ayoo kita guncang langit dengan usaha dan doa

      Delete
  11. rumah saya msh kecil, mak.. tp msh smangat smoga suatu saat bisa "ditukartambah" menjadi rumah besar yang full manfaat dan barakah..amiinn:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya mak...gunakan untuk banyak kebaikan, jika tidak lagi mampu menampung, maka Allah yang akan meluaskannya.

      Delete
  12. Abis baca beberapa postingannya mak ida, saya jadi optimis bisa punya rumah sendiri. do'akan y mak,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya doakan inda segera punya rumah impian yang nyaman amiin

      Delete
  13. Terima kasih mbak...tulisannya sangat mengispirasi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih juga mak sudah mampir di dumay dan mampir yang sesungguhnya

      Delete
  14. Tulisannya menginspirasi.. keep sharing ya mbakk.. makasih ..
    perumahan bekasi


    ReplyDelete
  15. Kisahnya ajib yaa...
    sambungannya mn donk mbk?
    sy jg pny mimpi sprti kisah diatas...
    mdh2n do'a sy dikabulkan oleh Allah Yg Maha Kuasa atas Segala Sesuatu, karena anak saya udh mau tiga, tapi sy msh jadi kontraktor alias tukang kontrak. hehehe

    ReplyDelete
  16. Ada bersambungnya segala ,, penasaran dg critanya.sy pengen pny rumah sendiri,, yg luas juga

    ReplyDelete
  17. Ada bersambungnya segala ,, penasaran dg critanya.sy pengen pny rumah sendiri,, yg luas juga

    ReplyDelete