Wednesday, March 18, 2015

Diary Revo 18 Maret 2015


Revo sungguh ceria. Senang melihatnya pulang sekolah dengan senyuman.
“Hah, ini hari kebencianku yang terakhir!” serunya saat masuk rumah. Itu kalimat pertama setelah mengucap salam.
Aku terkejut sekaligus heran.

“Mengapa hari kebencian dan mengapa terakhir, Po?’
“Karena aku enggak suka hari ini, tapi besok aku senang...”
Serunya penuh semangat.
“Mengapa ya, besok Revo senang...?” pertanyaan retoris edisi emak penasaran.
“Kan, mau nengok bang Dif...”

Oya, saya menjanjikan besok pulang sekolah akan membawa Revo menengok abangnya yang nyantri di Semarang.
Kerinduan Revo pada abangnya memang terasa pahit dan sekaligus manis.
Manis saat mengenang semua kegembiraan bersama abangnya. Pahit saat merasakan kesepian tanpa teman bermain yang cocok.

“Mi, kuberi tahu ya, “ katanya serius,” temanku Andre itu, tergoda oleh kecantikan Nina dan Vivi lho...”
Hah?!
Gantian telingaku yang menjadi tegak. Itu adalah nama-nama teman sekelasnya.
Sambil menemani Revo makan camilan, saya berfikir keras.
Mencari kata-kata yang tepat untuk merespon dan menggali lebih jauh tanpa membuat dia jengah.




“Maksudnya apa, kamu mendengar sendiri dari Andre?’
“Iya, tadi ditanya ustadzah satu persatu...”
Aduuh ustadzah nanya apa ya, kok jawabannya sampai segitunya.
“Ustadzah bertanya,”ia berhenti sejenak, seolah membaca pertanyaan di benakku,” apa yang kamu keluhkan dari sekolah ini?”
Hufh ternyata....

“Aku jawab pusing. Kalau di sekolah aku sering pusing, kalau Andre bilang keluhannya tergoda oleh kecantikan Nina dan Vivi....ada yang bilang terganggu karena temannya berisik. Ada yang kepanasan...ada yang diganggu....” Revo terus menyerocos.

Anak kecil memang polos. Apa yang ada dalam fikirannya itulah yang ia ucapkan. Tapi mengejutkan bahwa ada anak usia 8 tahun yang tergoda kecantikan temannya. Sepertinya orang tuanya layak waspada. Apa saja bacaan atau tontonannya, atau siapa teman bergaulnya sehingga ia sudah mempersepsi yang demikian. Tentu tak ada orang tua yang mengajarkan atau mengharapkan anaknya 'dewasa' sebelum waktunya.

Kulihat Revo masih berteman dengan Tifa, gadis kecil sahabatnya yang seringkali mengikuti kemanapun Revo pergi. Revo perlakukan Tifa sebagaimana Aufa atau Bintang, anggota gengnya. Kadang diajak main bola, lari-lari, main lego bersama, mengerjakan PR atau makan bersama. Bertukar mainan dan saling membagi voucher. Tak ada yang istimewa terkait perhatian pada fisik dsb.

Kalau Tifa kelihatan sedikit poninya dari kerudungnya yang acak-acakan karena dipakai memanjat atau berlarian, Revo akan berteriak:
“Tif, rambutmu kelihatan!”

Tifa kecil kadang peduli, kadang juga cuek dengan peringatan itu. Dan Revo tetap akan reseh mengingatkan sampai Tifa merespon dengan merapikan poninya.
Kembali ke pertanyaan ustadzah tadi. Sepertinya perlu ya secara berkala para guru bertanya demikian pada siswa. Dengannya, guru menjadi mengerti apa keluhan dan harapan para siswa kelas 2 SD ini. 

Lebih bagus lagi jika catatan tindak lanjut atas survei kecil-kecilan itu diteruskan pada fihak terkait. Misalnya ada catatan untuk orang tua, ada yang untuk anak-anak, ada yang untuk guru dan ada yang untuk sekolah. Hal demikian bagian dari deteksi dini dan mencari penanganan yang sesuai.

***

Bakda sholat maghrib, Revo memamerkan sejumlah gambar model lego.
“Jika diijinkan, aku mau beli ya ini. Kalau enggak boleh, yang ini, kalau enggak boleh, yang ini pasti boleh”
Dengan pintarnya, ia menunjukkan lego yang ukuran menengah, lalu lebih kecil, lalu yang paling kecil.

“Mungkin harganya seratus ribu atau malah lima puluh ribu,” lanjutnya menjelaskan.
“Boleh?” ia bertanya karena saya masih tersenyum saja memandangnya.
“Boleh kalau Revo...”
“Tertib!” sahutnya cepat.
“Yup!”
“Kalau yang ini...pasti enggak boleh!” katanya sambil menunjuk gambar rumah-rumahan yang agak besar.
“Mungkin ini harganya 400 ribu...”

“Waah mahal sekali,” kata Eyangnya menimpali,” kamu harus bisa cari uang sendiri kalau mau beli mainan mahal,” lanjut eyang.
“Iya kok, aku mau cari uang, hari Jumat akan mau jualan pisang goreng!” tukas Revo penuh semangat.

Haha, pisang goreng adalah dagangan favorit Revo saat market day. Kalau enggak laku akan dia memakan sendiri, tapi biasanya habis diborong para ustadzahnya.
“Tapi Umi sedang enggak punya pisang, Po. Jadi jualan permen sunduk saja ya...” kataku.

“Oh ya, kan aku mau menulis buku. Jadi nanti aku terkenal dan bukunya laris. Aku kalau besar mau jadi penulis seperti Abi Umi, kemana-mana jalan-jalan dan bukunya banyak”
“Alhamdulillah, semoga tercapai harapanmu, Nak” doaku sambil memeluknya.
“Sekarang saja aku mulai menulis, di komputer ya, Mi?” Ia bergegas mengajakku ke ruang tengah.

Saya menyalakan PC dan Revo berusaha menuliskan sebuah cerita.
 “Aku menulis apa ya Mi?” tanyanya sebelum memulai.
“Tuliskan saja apa yang kau alami dan pengalamanmu hari ini. Kamu juga boleh mengarang cerita, seperti yang dilakukan Umi tadi pagi. Tadi pagi Umi cerita apa?” aku mengetes perhatian dan ingatannya.

“Umi cerita tentang Pangeran kecil”
“Benar, Pangeran kecil itu tak pernah ada...itu namanya karangan. Seperti juga kisah Cinderela, atau Naruto, mereka tak pernah ada, hanya karangan”
“Tapi Umi bilang ‘pada jaman dulu..’”
“Yah, pada jaman dulu itu kalimat pembuka, tapi tidak selalu terjadi. Itu yang disebut fiksi.”

“Oke aku mulai menulis deh.” Lalu mulailah Revo mengetik kalimat pertama. Lalu kalimat kedua. Saya membacanya.
“ Kapan kamu mandi sendiri, Po?” Seingatku tadi pagi aku membantunya menyelesaikan acara mandi.
“Kata Umi boleh mengarang, jadi aku mengarang sebagian.”

Aku mengangguk-angguk. Setelah selesai ia menunjukkan karyanya. Anda mau tahu? Ini dia.


Buku Revo

Revo hari ini sangat tertib.
Makan sendiri mandi sendiri.
Berangkat sekolah tepat waktu.
Lalu langsung shalat ashar.
Alhamdulillah semoga besok lebih baik dari pada hari ini.


Sebenarnyalah ia tidak terlalu tertib, tapi saya tak meluruskan tulisan itu karena sebelumnya kami berdialog tentang buku fiksi dan non fiksi.
Kuanggap saja itu adalah harapan dirinya, seorang anak 7,5 tahun, untuk menjadi lebih baik. Semoga, amiin.


12 comments:

  1. saya mampir mak, lihat buku revo :)

    ReplyDelete
  2. Terharu baca dialog revo dan umi. Teringat anak-anakku sendiri :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mak Sary. Semoga anak-anak kita menjadi anak baik amiin.

      Delete
  3. Kebayang kepolosan anak yg membuat bahagia sekitar dengan caranya. hihi....
    Revo... jangan mulai dari yg besar ke kecil... awali dgn minta lego yg sedang lalu naik ke atas. hihihi...

    ReplyDelete
  4. Revo lucu.. dialog sama anak-anak itu suka bikin haru sekaligus geli ya.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul mak Ovi. Revo memang lucu cerdas menggemaskan

      Delete
  5. Anak-anak yang penuh kejutan. Ngomong-ngomong, hasil jawaban anak-anak itu lebih baik kalau bisa diketahui ortunya ya mbak jadi bisa diarahkan kalau melenceng kayak yang tergoda kecantikan temennya itu :D

    ReplyDelete
  6. Kirain Revo itu nama motor ternyata manusia :D

    ReplyDelete