Wednesday, March 12, 2014

Anakku Korban bullying 2

Bagian pertama bisa dibaca di sini 

Bagian ke 2

Sakit
Conan juga sesak nafas
gambar dari sini

Mengejutkan bahwa putraku mulai sesak nafas setibanya di bandara Soeta, Jakarta. Saat itu kupikir hanya karena kelelahan yang menumpuk. Sungguh aku tak berfikir ada sebab yang lain.

Setelah beristirahat beberapa hari, pada hari Senin, ia mengenakan seragam sekolah, mengambil sarapan di dapur dan berkata padaku:

“Umi, bagaimana jika aku pindah Sekolah?”
“Pindah kemana Mas? Kenapa tiba-tiba kamu ingin pindah?”
“Anggap saja aku mendapat pencerahan saat berumrah, jadi aku pengin dapat pelajaran agama yang lebih banyak...” ia menyebutkan nama sekolah tempat ia ingin pindah.
“Mengapa tidak dulu-dulu waktu kamu masuk, bukannya sejak awal Umi menyarankan mengambil sekolah ini?” Kenyataannya saat pendaftaran siswa baru, ia memang mendaftar dan diterima, tapi godaan masuk sekolah negeri favorit rupanya lebih kuat.
“Aku baru menyadari sekarang bahwa apa yang Umi katakan itu benar...”


Hmm kalau sudah demikian bagaimana lagi.
“Oke, Umi beri kamu waktu beberapa hari untuk mempertimbangkan, jika sudah bulat tekatmu, Umi akan tindak lanjuti. Karena mas, jika Umi sudah melangkah, maka tak bisa surut lagi dan kamu tak akan bisa masuk ke sekolahmu sekarang ini lagi”

Ia mengiyakan dan berangkat ke sekolah. Kubawakan beberapa oleh-oleh haji untuk guru dan teman-temannya. Sekolah anakku termasuk sekolah favorit. Tidak sembarang anak yang bisa masuk, tentu juga tidak mudah melepaskan murid yang ingin pindah dengan alasan bukan karena pindah kota.

Tidak sampai jam 10.00 Wib. Anakku sudah pulang dan mengatakan bahwa ia tak kuat sekolah. Kulihat ia mengalami sesak nafas yang cukup parah. Maka saya segera memberikan obat sesak baik yang minum maupun semprot. Esok pagi saya menelepon sekolah untuk meminta ijin, ia tak masuk sekolah sampai pulih kembali. Esok malamnya saya membawanya ke RS, karena ia sudah membutuhkan nebulasi. Kami pulang kembali dengan membawa obat.

Hingga pekan depannya, barulah anakku sepertinya siap sekolah. Hari Senin ia mulai lagi berseragam dan menenteng tas. Namun jam 9 sudah pulang dan mengatakan tak kuat sekolah. Melihat kondisi demikian, saya mulai berfikir, jangan-jangan ia sesak nafas karena keinginannya pindah sekolah belum saya turuti. Malam hari saya ajak dia berdialog dan memutuskan bahwa esok hari, saya akan menembusi sekolah swasta, dimana banyak teman-teman SMPnya yang juga bersekolah di situ. SMA yang dulu putraku pernah keterima di sekolah itu.

Alhamdulillah, Kepala sekolahnya sangat wellcome dan mempersilahkan anak saya masuk kapan saja dengan membawa surat pindah dan rapor. Beliau telah mengenal anak saya dan percaya bahwa anak saya termasuk anak yang cerdas dan baik.

Esoknya saya pergi ke sekolah SMA Negeri tempat anakku bersekolah. Saya hendak menemui wali kelas, namun ibu Wali kelas sedang ijin tidak masuk, sehingga saya kembali pada hari Jumat, sebagaimana yang disarankan oleh guru piket. Saya juga tidak bisa menemui Kasek karena beliau sedang mengikuti penataran selama beberapa hari. Pada hari Jumat saya diharapkan bisa kembali ke sekolah untuk bertemu dengan bapak Kasek yang sudah selesai dari mengikuti penataran.

Sementara itu, keadaan anak saya tidak bertambah baik, jadi saya membawanya ke RS lain yang lebih besar pada hari Kamis. Di RS ini dulu saat ia SMP pernah ditangani salah seorang dokter spesialis jantung senior dan tidak kambuh selama 2 tahun. Sayangnya dokter tersebut tidak praktek pada hari itu dan digantikan oleh dokter lain yang lebih muda. Terlanjur menunggu dan menempuh jarak lumayan jauh, saya tetap memeriksakan anak pada dokter muda itu. Kami pulang membawa obat jalan.

Pada hari Jumat, saya menemui bapak Kasek, ternyata bapak Kasek tidak ada, demikian pula ibu Wali kelas juga sedang tugas keluar. Kami ditemui oleh bapak Wakasek. Kami serahkan surat permohonan pindah. Bapak Wakasek memberikan beberapa saran dan mohon pada hari Senin kami menemui bapak Kasek.

Sementara itu hingga hari Senin, anakku tak kunjung membaik. Jadi kami memikirkan untuk mencari referensi dokter paru-paru yang paling terkenal di kota kami. Kami mendapat kabar bahwa dokter ini praktek di sebuah RS besar yang berbiaya mahal. Demi kebaikan anak, sayapun booking untuk periksa pada hari Selasa.

Untuk proses pindah sekolah, hari Senin itu kami berhasil bertemu dengan ibu Wali kelas dan bapak Kasek. Beliau keberatan dengan alasan kepindahan anakku “Untuk mendapat pelajaran agama yang lebih banyak”.

Menurut pak Kasek, sekolah ini sudah berbasis agama bahkan menjadi pilot projek di tingkat kota. Beliau juga menyayangkan karena putraku tergolong anak yang aktif dan nilai akademisnya termasuk baik. Jadi mentah lagi karena kami justru diminta untuk membujuk anak kami agar tidak pindah. Hmm. Bisa kumengerti ini menyangkut kondite sekolah saat memberi surat pindah siswa yang tidak bermasalah. Pindah dalam satu kota yang sama.

Acara berobat pindah dokter dan pindah RS berjalan baik. Dokter ini memang canggih dan peralatan juga lengkap. Anakku mendapat serangkaian uji yang menyebabkan aku harus merogoh kocek lebih dari satu juta untuk satu kali periksa. Itu membuatku berfikir strategi lain. Tetap dengan dokter tersebut namun di tempat praktek yang berbeda. Setelah mengejar informasi, maka pada kontrol minggu berikutnya, kami bisa kontrol di tempat lain dengan dokter yang sama dan data-data lab yang sudah ada.

Adapun hasil pembicaraan dengan sekolah saya sampaikan pada anakku dan dia hanya diam saja.
“Kalau kamu tetap lebih mantap pindah, Umi akan mengikuti kemauan kamu, yang penting kamu sembuh dulu, nanti kita temui bapak Kasekmu itu bersama-sama untuk memintakan ijin pindah”. Anakku mengiyakan.
Sepekan setelah berpindah dokter, anakku nampak membaik. Dan kubujuk ia untuk berangkat sekolah.

Apakah ia mau berangkat sekolah?

(Bersambung ke bag 3)

9 comments:

  1. wow,efeknya sampai begitu ya mbk,,dulu saya seringggg banget nemuin anak2 korban bulliying *saya waktu itu masih ngajar jd guru BK*..entah yang badnnya dimasukin ke tong sampah, dibilang anak autis,dll....ada yang memilih diam, karena anaknya cenderung pendiam dan takut, ada juga yang nurut aja dan bilang ke temannya..efeknyapun beda2,salah satunya coret2 pensil ditangan sampai berdarah *hickz*, sangking tertekannya sama pelaku bulliying...semoga putranya baik2 ya mbk :D

    penasaran selanjutnya,, ^^

    ReplyDelete
  2. Huhuhu...masih bersambung # tambah kepo, penasaran
    Anakku jg sudah menginjak remaja, dan cenderung pendiam. Khawatir jadi korban bullying :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. waskat mak, waspadai setiap perubahan prilaku dan kesehatan anak

      Delete
  3. makin penasaran saya, Mbak. Tapi, saya baru tau kalau ada sekolah yang mempersulit kepindahan anak murid. Bukankah itu termasuk hak, ya?

    ReplyDelete
  4. mau lanjut bacanya.... *penasaran* :)

    ReplyDelete