(bagian ke 6)
Membolos Lagi?
Bismillah, saya lanjutkan curhatan ini.
Pada suatu pagi, sekitar sebulan setelah pindah sekolah dan
masuk semester baru di kelas tiga, anakku pamit berangkat sekolah.
“Sekalian aku mau bayar sekolah Mi...” katanya saat sarapan.
Aku menatapnya dengan bahagia, sekarang ia nampak jauh lebih sehat dan gembira.
Pagi-pagi selalu sudah siap dan bersemangat berangkat. Kuberikan bayaran
sekolah dan uang saku untuk sepekan. Uang saku biasa saya berikan di hari
Senin.
Sekitar jam 08.30, saat bekerja di Apotek, saya merasa tidak
enak hati. Jadi saya SMS Wali kelas dan guru BPnya.
“Bagaimana perkembangan anak saya?” begitu kata-kata yang
sering saya SMS kan, nyaris setiap pekan.
“Baik bu, sudah gembira dan akrab dengan teman-temannya. Dari
sisi pelajaran juga cepat menyesuaikan diri. Btw kok sekarang tidak masuk
sekolah kenapa ya...?”
Deg.
Apalagi ini?
Apakah ia membolos lagi? Duuh Gusti...saya mau jawab apa?
“Ya Ust coba saya cek di rumah, tadi pagi berangkat dan
pamitan mau ke sekolah, jangan-jangan ia pulang lagi karena sakit. Nanti saya
kabari lagi....”
Saya menelepon rumah, menanyakan apakah anakku pulang lagi
setelah tadi pagi pamit berangkat sekolah. Di rumah tidak ada. Saya menepon
HPnya, aktif tapi tidak diangkat.
Buntu.
Saya bekerja dengan kalut. Beribu pertanyaan memenuhi benak.
Cukup mengganggu karena saya berhadapan dengan banyak pasien yang membutuhkan
konsentrasi. Setiap sepuluh menit saya menelepon. Juga mengirim SMS.
“Mas kamu dimana ya?” tak ada jawaban.
Saya sudah solat dhuha, jadi kutenangkan hati dengan berdoa.
Keringat dingin membasahiku dan jantungku terus berdebur kencang.
Suamiku yang kukabari menjawab ringan, mungkin ia berusaha
menenangkan hatiku.
“ Kita tunggu sampai jam pulang sekolah, setelah itu kita
cari lagi...”
Hmm kelamaan pikirku. Jangan-jangan ia di RS, kecelakaan
misalnya? Atau ia mengabaikan lagi janjinya untuk menjadi anak baik? Apakah
mungkin ia berada di tempat game?
Berfikir macam-macam hanya membuatku makin panik. Semua
kemungkinan buruk. Jika ia kecelakaan aku juga tidak menginginkannya. Jika ia
ke game online juga bukan kabar baik. Atau jangan-jangan ia di-bully lagi oleh geng yang dulu? Ini juga
buruk.
Saya menyerah dan menyibukkan diri dengan membaca dzikir dan
doa di sela aktivitas di Apotek.
Tepat adzan dhuhur saya segera mengambil air wudhu dan
bergegas sholat dhuhur. Air mata tak dapat kubendung saat mengadukan semua
kegundahan hati pada Allah. Saya
menangis sejadi-jadinya. (Naah sekarang saya nangis lagi).
“Ya Allah dimanapun ia berada. Ketuklah ia untuk ingat pada
ibunya. Berikan kesadaran padanya untuk mengingat rumah dan segera pulang...”
itu saja doa yang kuulang-ulang.
Allah Maha menjawab doa. Begitu saya melipat sajadah, ada
telepon masuk. Anakku! Gemetaran saya mengangkat ponsel.
“Mas...?”
“Umi, aku kecelakaan. Aku pingsan dan ditolong orang
kampung...ini aku sudah kuat dan akan pulang...”
“Mas jangan pulang...posisi kamu dimana? Biar Umi jemput
saja...?” Namun ia segera memutuskan telepon dan saya mencoba menelepon balik,
ia tak mengangkatnya. Saya meng-SMS hal yang sama, biar kami yang jemput dan ia
tinggal menyampaikan lokasinya. Ia tak menjawab.
Saya mengabari suami tentang situasi ini dan meminta untuk
segera mengabari jika anak sampai di rumah. Saya mencegatnya di depan apotek,
karena jalur pulang ke rumah pasti akan melewati tempat kerjaku.
Benar, sekitar setengah jam kemudian, ia melintas. Saya
bergegas pamit pulang awal untuk menemuinya.
Kudapati di rumah ia sedang dirawat oleh suamiku. Antara lega
dan sedih, membuat saya berurai air mata.
“Umi hampir lapor Polisi naak...” kataku sambil merawat
lukanya.
Ceritanya ia berkendara untuk berangkat sekolah jam 06.30. Di
ring road hanya sekitar 3 km dari rumah, ia dikejutkan oleh munculnya sebuah
kendaraan dari gang di tepi ring road. Karena menghindar, ia justru jatuh
terjungkal. Saat jatuh ada motor lain yang menabrak kepalanya. Ia pingsan.
Penduduk setempat menggotongnya dan menunggui hingga ia sadar. Rupanya ada
sekitar tiga jam ia tak sadarkan diri.
Setelah sadar, ia mendapat cerita semua peristiwa itu. Ia
belum begitu ngeh untuk segera
mengambil HP dan melihat pesan serta miscall
dari saya maupun ayahnya. Setelah merasa agak kuat, ia lantas pamitan untuk
pulang. Lelaki tua penghuni rumah yang menungguinya, ia beri uang Rp.20.000
sebagai tanda terimakasih. Saat hendak pulang ia baru menengok hp dan mendapat
banyak panggilan dan SMS. Ia segera menelepon saya.
Hmm aku mau bilang apa. Antara heran, jengkel dan terimakasih
kepada orang-orang yang menolong anakku. Mengapa anak pingsan sekian lama dan
tak ada yang berinisiatif membawa ke RS? Duuh apakah memang begitu tidak mampu
dan tidak terpelajarnya orang yang menolongnya sampai tidak punya akses ke RS
dan berfikir misal menemukan ponsel anakku dan mengabari kami.
Kulihat luka lecetnya dan memar memanjang di sekitar tangan
dan kaki. Juga di bagian pinggang. Berdarah tapi tidak banyak. Ada bagian
celananya yang sobek. Sekalipun ia pingsan namun ia dalam keadaan memakai helm
saat jatuh jadi kepalanya aman. Namun demikian ia tak mau diajak ke RS hari
itu, katanya sangat lemas dan capek. Saya mengobatinya sendiri dengan analgesik
dan antibiotik. Mengoles luka-lukanya dan segera memberinya makan. Ia memilih tidur
beristirahat.
Saya segera mengabari sekolah situasi ini dan sekalian
memohon ijin untuk tidak masuk hingga ia pulih kembali. Sore harinya
teman-temannya sepulang sekolah berombongan menengok. Rupanya ia sudah diterima
dan disayangi oleh teman-temannya.
Esoknya saya memaksanya ke RS untuk menjalani cek up karena
sempat pingsan cukup lama, apalagi kemarin ia mengeluh perutnya mual.
Alhamdulillah hasil pemeriksaan baik dan ia hanya luka-luka luar saja. Beberapa
hari kemudian ia sudah bisa berangkat sekolah dan menolak diantar, tetap
mengendarai motornya sendiri. Saya memesankan untuk pelan-pelan dan hati-hati.
Saya mencoba mendatangi lokasi yang disebutkan, namun gagal
mencari rumah orang yang menolongnya. Saya hanya ingin berterimakasih dan
memberikan imbalan sekedarnya atas apa yang telah dilakukan pada anakku saat
mengalami kecelakaan itu.
Hingga kini masih belum masuk akal bagiku bahwa ada orang
yang tidak berinisiatif membawa ke RS anakku yang pingsan keselakaan. Padahal
kalau ada yang mau menggeledah, anakku membawa uang Rp. 700.000, bayaran
sekolah yang dimintanya tadi pagi. Hpnya ternyata di saku celana dalam keadaan silent sehingga tak ada yang mendengar
panggilanku yang berulang-ulang.
Bagaimanapun saya bersyukur anakku dalam keadaan yang lumayan
baik. Alhamdulillah juga ada yang mau menolongnya. Setiap peristiwa pasti ada
hikmah. Setidaknya kepercayaanku pada putraku lebih baik lagi.
Semoga hanya saya yang mengalami hal ini. Tidak mudah
membersamai anak remaja. Saya merasa sudah melakukan yang sebaik-baiknya
sebagai seorang ibu. Selalu memasak makanan kesukaan agar dilahap habis dan berkah
untuk kesehatan. Mengecek PR dan tugas sekolah serta berhubungan intens dengan
fihak sekolah, ternyata kecolongan juga.
Semoga ke depan tak terulang lagi. Amanah banyak anak tentu
membawa konsekwensi yang berat di era modern ini. Selanjutnya kita selalu
berdoa agar selalu dilindungi dari musibah apapun. Terutama dari musibah
keruntuhan moral anak remaja.
Mohon doa restunya kini ia sedang belajar giat untuk
menyongsong Unas. Tiap hari beberapa temannya menginap untuk belajar bersama
untuk menghadapi try out, pemantapan dan semacamnya. Melihat para jejaka muda
yang antusias belajar membuatku merasa bangga melayani mereka.
Demikian kisahku. Semoga bermanfaat sebagai pelajaran bagi
yang lain.
Bagaimana sikap orang
tua saat anak menjadi korban bullying? Atau justru menjadi pelaku ?
(Bersambung ke bagian 7)
Semoga sukses di Unas nya ya mas...
ReplyDeleteMembaca cerita panjang mba Ida, membuat air mata membendung, tarikan nafas berulang2, dan istighfar terus menerus. Menajga anak remaja, sungguh sesuatu yang berat ya mba....
iya mari kita saling dukung menjaga generasi muda kita
DeleteMembaca dari bagian pertama sampai keenam membuat air mata beberapa kali berurai..... hiks....jadi inget krucilsku... mdh2an mereka tidak mengalaminya. Tapi happy ending ya Mak dapat sekolah yg lebih Islami mudah2an...ga jadi tinggal kelas juga, alhamdulillah semua kejadian selalu penuh hikmah. Mudah2an juga UN nya sukses serta cita2nya menjadi dokter bedah tulang tercapai. Aamiin Allohumma Aamiin.
ReplyDeleteAmiin makasih ya
DeleteMembersamai remaja di zaman sekarang memang tidak mudah ya bu.. Semoga Alloh selalu memberi kemudahan.. Terima kasih sharingnya bu.. Saya masih menunggu bagian 7nya..
ReplyDeleteiyaa lagi ditulis nih
DeleteMaaak.... nangis lagi nih.. menetes air mataku.. Alhamdulillah ada orang-orang baik dan polos yang menolongnya. Kebayang kalau ketemu orang jahat, digeledah bukan buat menolong tapi malah dirampok.
ReplyDeleteAlhamdulillah si Mas bisa pulang sendiri, kemauannya besar sekali.
Terimakasih sudah berbagi hal ini di blog mak Ida ini. Ada 3 ABG di rumah niih... pelajaran banget hal seperti ini.
iya Titi esti kita saling mendokan ya
DeleteMak, emang mas nya usia berapa? maaf aku baru baca yang ke 6 ini :D
ReplyDeletesemoga cepet pulih dan uasnya lancar ya
i6 tahun mak, ada di episode 1
Deletewalah.. jadi inget dulu juga pernah keponakan berkasus sama kaya gitu, mak. semoga tulisan ini jadi pelajaran buat kita sema ya mak.
ReplyDeleteamin makasih Damae
DeleteYa ampuuun menetes air mata. Semoga UN nya sukses serta cita2nya menjadi dokter bedah tulang tercapai. Dokter bedah tulang itu mngingatkanku pada novelnya Kan Abik 'Bumi Cinta'.
ReplyDeletemakasih doanya sofia
DeleteSaya banyak belajar banget dari tulisan mak ida, kelak buat bekal pelajaran buat anak saya yang sudah mau sd :)
ReplyDeletesemoga sukses UN nya yaa mak
makasih mak shinta...saya juga belajar ngeblog dari mak sjinta. sayang kemarin gak sempat foto berdua mak.
DeleteMak Ida, terima kasih untuk tulisan2 inspiratif dan penuh manfaat ini. Aku belajar banyak dari mak Ida. Semoga UN nya berjalan lancar dan mendapat hasil terbaik
ReplyDeleteAmiin makasih mak...senang dikunjungi makpon.
DeleteMbak Ida, anaknya gak trauma? sudah baikan sekarang?
ReplyDeleteSaya coba berbagi pengalaman saya.. mudah2an bisa tercerahkan.. soalnya saya juga dari dulu (SD-SMA kelas 1)suka di bully.. Baru bisa bangkit SMA kelas 2 an dan Mulai PD kuliah semster 4..
Berbaagi pengalaaman.. mudah2an bermanfaat..Silahkan dibuka :http://tajdiidunnisaa.wordpress.com/2013/07/17/apa-salahku/
(ayunda Slamet)
makasih banget mak, insya Allah bermanfaat sharingnya
Deletesalam silaturahim, mak Ida ...
ReplyDeletebenar membersamai anak remaja itu bukan hal yang mudah, anak sulung saya sekarang baru saja masuk kuliah, dan turun naik khawatir cemas dan waswas selalu menyertai. Terimakasih sudahberbagi, semoga si mas segera pulih
makasih kunjungannya mak
Deleteinilah kasih sayang tulus seorang ibu ke anaknya yg beranjak dewasa...peluk mak ida
ReplyDeletepeluuk mak Chela...hati2 anak SD juga sudah ada kasus ya
Delete