Monday, September 30, 2013

THE STORY OF BACKYARD



koleksi pribadi


Sejak kami menikah dan menjadi ‘kontraktor’ selama 15 tahun, kami kurang beruntung dalam urusan halaman belakang.  Rumah pertama kami adalah pinjaman gratis dari seorang dosen yang kebanyakan rumah. Rumahnya besar dengan 4 kamar dan garasi yang muat dua mobil, terlalu besar untuk pengantin baru, namun tetap tidak memiliki halaman belakang. Hanya halaman samping, itupun sedikit tempat menjemur baju. Juga halaman depan yang berukuran 2x3 m2.

ANAK-ANAK DAPUR



Di rumah mertuaku, dapur adalah pusat aktivitas
Sebagai keluarga besar, dan memiliki rumah yang besar, maka dapurnya juga besar.
Pertama kali menjadi menantu, aku takjub melihat besar dan banyaknya pawonan ( tungku kayu bakar) hingga kuhitung jumlah lubangnya ada 9. Kalau kompor gasku hanya dua tungku, pawonan eyang ada 9 tungku. Yang dipakai sehari-hari hanya dua atau tiga. Saat ada acara atau ‘nduwe gawe’ barulah semua tungku dipakai.

Thursday, September 26, 2013

DUA KILO BUAH MANGGIS


" Umi, bolehkan aku hari Ahad nanti bermain futsal ?" tanya si nomer 5 penuh harap.
Aku meneliti matanya, dan berfikir mencari jawaban yang tepat. Melihat binar penuh harap, tak tega aku menolaknya.
" Apakah hari Seni
n kamu ada mid semester ? Jika ada, tidak boleh main futsal di hari Ahad, karena kamu harus belajar. jika tidak mid, kamu boleh futsal..." 
" Hore..." soraknya kegirangan " Aku tidak mid, jadi boleh ya mi...?"
Masih saja bertanya, seolah tak yakin dengan jawabanku.
" Mainnya dimana ? Sama siapa ?"
" Sama teman-temanku. Kumpulnya di rumah Nur Ilham. Umi tahu kan rumahnya ?"
Aku mengiyakan.
" Tapi aku harus ikut lomba Spelling Bee dulu, jadi nanti habis lomba baru main futsal. Sebaiknya aku langsung bawa perlengkapan futsal atau aku pulang dan ganti baju di rumah lalu baru diantar lagi ?" Ia memberondongkan pertanyaan.
" Lomba dulu, pulang, baru berangkat lagi..."
" Ok. tapi mi, bolehkah aku minta kaus futsal...?"
" Bukannya kamu sudah pernah dibelikan kaus...baru dipakai beberapa kali kan ?"
" Itu sudah kependekan Mi....tidak enak dipakai..."'
" Ok kalau harganya gak mahal, umi belikan ..."
" Trus sepatunya...?"
" Lho, kan juga sudah dibelikan sepatu waktu kamu mau ambil eskul fuitsal. Baru kamu pakai berapa kali, trus kamu sakit dan tidak pernah dipakai lagi ?"
" Itu sepatu sepakbola. Sepatu futsal beda lagi..."
" Emang apa bedanya ? Emang ada larangan futsal pakai sepatu sepakbola...?" aku sungguh keheranan.
" Iya mi, gak boleh. ini lapangannya indoor. Menyewa, kalau pakai sepatu sepakbola kan merusak karpetnya. sepatu sepakbola itu runcing alasnya...."
Hmmm jadi begitu ya. Sebentar putar otak dulu.

" Abang ingat nggak, terakhir abang main futsal, abang masuk rumah sakit, sampai dua kali. Sepuluh hari. Sepatunya mungkin seratus dua ratus ribu, tapi berapa juta untuk biaya RS dan dua pekan abang tidak sekolah..."
Ia diam saja.
Peristiwa itu terjadi satu setengah tahun yang lalu. Difa kecapekan selepas outing, langsung main futsal dan Seninnya sakit, opname lima hari dengan indikasi infeksi saluran kemih, saluran cerna dan cacar air. Pulang, di rumah tiga hari, masuk RS lagi 5 hari. 
Rupanya saat outing ia menahan kencing seharian. Air minumnya habis, karena memang ia sangat doyan minum, dan futsal dalam keadaan bekal uang dan air minum sudah habis. Saat outing ia mungkin jajan sembarangan.
Jadi lengkaplah, ia kebanjiran penyakit karena dua aktivitas itu.
Aku lantas menghentikan kegiatan futsalnya. Hingga hari ini.
Walaupun demikian, ia tetap bermain bola atau futsal saat istirahat kelas atau sepulang sekolah, di halaman sekolah.
Namun tak pernah lagi secara resmi mengenakan asesoris dan bermain di tempat serius.
" Sepatunya umi carikan pinjaman saja ya...? Tokh kamu jarang-jarang main...."
Ia diam dengan wajah kecewa.
" Apa semua temanmu memakai sepatu ? "
" Ada yang tidak "
" Trus mereka pakai apa ?"
" Gak pakai apa-apa ..."
" Oo jadi gak pakai sepatu boleh ?"
" Boleh"
Hmm jawaban pendek-pendek, artinya ia sedang kecewa.
Aku menghentikan acara masak dan duduk di sampingnya. Memeluk pundaknya. 
" Abang boleh main futsal, umi akan belikan kaus baru dan carikan pinjaman sepatu, kalau tidak dapat......"
" .....aku nyeker saja...ada temannya kok..!"
" Ok deal..." aku melihat wajahnya kembali cerah.

Sambil kembali memasak, aku membuat opsi baru.
" Seandainya Bang, ini seandainya lho, kamu tidak jadi futsal saja, umi akan belikan kamu buah manggis dua kilo..."
" Manggis dua kilo ?" Buah manggis adalah kesukaannya.
" Ya dua kilo untuk kamu semua...dan kecil-kecil..."
" Dua kilo manggis, kecil-kecil gak ada bijinya ? Waw..."
Ia mengulang dengan gembira. Ia sedang menimbang-nimbang.
" Tapi aku tetap pengin futsal..." desisnya kemudian.
" Ok Futsal...nanti sore beli kausnya..." jawabku cepat.

Singkat cerita, esoknya ia berangkat lomba spelling bee hingga tengah hari. Sepulangnya ia justru bermain bersama adiknya. Aku pura-pura lupa tentang rencana kami kemarin, padahal ia sudah punya kaus baru.

Namun sorenya aku tak tahan untuk bertanya:
" Abang, memangnya kamu tidak jadi futsal...?"
" Ya tidaklah Mi...kirain lombanya tidak lama. Kan futsalnya janjian jam 9, jadi saat aku selesai lomba, mereka sudah selesai futsal..." Ia bicara tanpa nada kecewa. Sekalipun tidak jadi futsal dan lombanya juga tidak menang.
" Ok kalau begitu, umi janji manggis dua kilo..."

Tak lama kemudian, hanya berselang beberapa menit,  ada seseorang mengetuk pintu. Difa berlari menemui tamu.
" Umi ada orang mencari ustdz Cahyadi, kalau tidak ada mau ketemu ustadzah Ida..." katanya dengan nada bercanda.
Aku bergegas menemui suami istri dan seorang anak yang menjadi tamu kami.

" Assalamu'alaikum ibu. kami dari Purworejo, mau silaturahmi. Kalau ustadz tidak ada, ketemu ibu saja... Oya, ini oleh-oleh dari kami, buah manggis dan duku....Manggis Purworejo sangat terkenal manis dan bagus...."

Aku terpana.
Jadi saat sang tamu pulang dan aku masuk rumah...kupanggil Difa.
" Bang.... buah manggis kecil-kecil dua kilo...bonus duku...."
Difa menyambutnya dengan sorakkan syukur. 

Allah telah membelikannya untukku. Alhamdulillah, tsumma alhamdulillah.
Rejeki yang tidak disangka-sangka.


 

KONSISTENSI KEBAIKAN


" Umi, kakiku semutan..." keluh Revo pagi ini saat bangun tidur.
" Mana yang semutan ...?" kataku sambil memeluk dan memangkunya. Kupijit kaki kiri yang ditunjuknya. 
" Eyang mana ?" tanya revo.
" Eyang sedang beli bubur. Tumben bangun tidur kok cari eyang, ada apa ?"
" ...kan eyang yang bisa mijit...."
Ooo, begitu rupanya.
" Umi juga bisa mijit kok, nih syafakallah...masih semutan apa tidak ?" terus kupijit kakinya.
" Semutan itu sebabnya apa to mi ? Nyembuhinnya gimana ?"
" Semutan itu mungkin karena tadi Revo posisi tidurnya kaki tertekuk. atau Revo kurang makan dan minum...." jelasku., " nanti kalau dipijit, trus Revo makan minum air anget, sembuh deh...insya Allah..."
...bla...bla ...dan Revo masih bertanya ini itu tentang semutan, menjadi kuliah pagiku. 

Bukan bab kesemutan yang ingin kubahas, tapi bahwa Revo mencari Eyang untuk memijit kakinya. Eyang suka memijit. Kalau ada yang kecapekan selalu ditawari pijit, kalau membangunkan anak-anak dengan memijit. bahkan kalau aku berjalan kurang lurus akan bertanya, 
" Tak pijeti piye,,,?" Namun aku menolak karena kasihan, masak dari bayi sampai setua ini masih dipijit ibu terus. Jadi gantian aku yang menawari pijit saat ibu capek. Namun pijitanku mungkin tidak enak, sehingga tidak ada yang kangen dengan pijitanku.
Sebaliknya, mungkin bagi Revo pijitan eyangnya adalah pijitan cinta yang nikmat.
Revo akan mencari aku jika minta minum susu. Atau minta dibacakan cerita menjelang tidur. Atau jika ingin belajar. Setiap pulang sekolah atau malam hari, ia akan menenteng tas dan membuntuti aku.
" Umii ayo belajar..." begitulah, aku bagi Revo identik dengan minum susu, membaca cerita, belajar dan tidur.


Kebaikan yang kita lakukan berulang, akan membekas dan membuat ikatan jiwa. akan mudah sekali menjadi label bagi kita.
Kemarin saya cerita tentang paman yang meninggal setelah pingsan selama 30 jam, saat sujud rekaat pertama sholat qobla dhuhur. Paman adalah orang yang konsisten melaksanakan sholat lima waktu di masjid. Dan Allah berkenan memanggilnya saat sholat di masjid. Konsistensinya berbuah manis.
Sementara bulikku, adalah orang yang suka memberikan hadiah atau oleh-oleh. Setiap kali berkunjung ke rumahku, mengunjungi ibuku, bulik pasti membawa aneka maskan. Ayam goreng, tempe tahu bacem, brongkos dan kadang mie goreng. Kadang juga dengan peyek atau kerupuk. Tak lupa sambel.
Maka jika di meja makanku ada brongkos, pasti suamiku akan bertanya: 
" Bulik ke sini ya...?"
Kadang pertanyaannya demikian :
" Kapan bulik ke sini ?" Brongkos adalah jejak kehadiran bulik.

Sementara mertuaku, senang sekali jika dikirimi pulsa.beberapa kali aku mencoba merutinkan kirim pulsa, suatu ketika beliau menelepon aku dan bertanya ;
'" Umi kirim pulsa ya...? Kok ini ada pulsa masuk...?"
" Belum Yang, Eyang mau dikirimi pulsa ? "
" Ora, ini pulsane eyang ijih akeh, ojo kirim ndisik..."
Waah orang lain yang kirim, tetap dikira aku.

Di kampung, kami biasa menyuruh orang bersih-bersih. Menyuruh dengan diam-diam. Misalnya saat melihat masjid atau mushola nampak kotor dan banyak rumput, suamiku menyuruh orang upahan untuk membersihkan dan mengepel masjid. Mencabuti rumput dan sebagainya. Demikian pula kebun tetangga para janda tua yang tak kuat bekerja keras, kadang kami suruh orang untuk membantu membersihkan halaman dan membetulkan pagarnya. Juga gang masuk ke rumah kami.
Hingga suatu ketika saya terkejut saat ada tetangga yang komentar.
'"Waah sekarang, pak Cahyadi bersih-bersihnya sampai buk dhuwur...terima kasih ya bu, kampungnya jadi semilak..."
Aku kaget dikira aku yang mengupah sekian banyak orang untuk membersihkan semak pinggir jalan utama yang membelah kampung kami.Setelah aku cari tahu, ternyata itu orang upahan pak Lurah yang akan mendapat tamu agung. Pak Bupati akan berkunjung ke kantor kelurahan, jadi pak Lurah menyuruh banyak tukang untuk membersihkan dan merapikan jalan menuju Kelurahan. Waah...masak aku harus klarifikasi ke banyak orang.

Rasulullah memang pernah memesankan amal yang kontinu. 
Ternyata dasyat ya jika bisa memelihara amal kebaikan yang kontinu.
Kita akan diingat dengan kebaikan yang rutin kita lakukan. bukan hanya di mata manusia, tapi juga di sisi Allah. Saat kita udzurpun, kita akan mendapat pahala amal yang selalu kita lakukan.

Sekalipun terasa berat menjaga konsistensi, tapi ayo terus lakukan.
Semangat.Semangat.

 

Wednesday, September 25, 2013

MERAWAT JIWA




Suatu hari aku mengunjungi sebuah sekolah dasar. Saat asyik berdialog dengan Kepala Sekolah, terdengar sedikit kehebohan. Anak yang berteriak-teriak dan meronta. Suara pintu berdebam ditendang kaki si anak di sela teriakannya. Lalu beberapa bujukan guru mencoba menenangkan. Seorang ibu guru memangku anak yang masih menangis keras.

Kepala sekolah menyebut nama anak itu. Beliau langsung tahu tanpa harus menengok siapa yang menangis. Aku berdiri dan melongok keluar jendela. 
" Sudah beberapa kali, atau malah cukup sering..."
" Kira-kira sebabnya apa bu...?"
" kalau menurut hasil konsultasi dengan psikolog, pola asuh yang diterapkan ibunya. Karena kakaknya juga berperilaku serupa. Sepertinya adiknya juga berpotensi demikian..."
Aku membayangkan ibunda anak itu. Satu dua kali aku pernah bertemu, seorang perempuan cantik, sangat cantik malah, pintar dan kaya. Terdidik tentu, karena dosen di sebuah perguruan tinggi. Hmm apakah benar masalah pola asuh...?
Aku tak dapat menyimpulkan tanpa fakta.
" Apakah orang tuanya tahu masalah ini...?"
" Tahu bu, kami sudah beberapa kali dialog. kalau versi orang tuanya dia di rumah anak manis....namun dilacak di TK dulu ternyata sudah terjadi hal serupa ini "
" Kalau sebab pemicu kemarahan anak ini apa bu ?"

Waah kok jadi wawancara.

Sungguh bukan sekedar ingin tahu, aku meniatkan diri menjadi pengamat pendidikan anak, agar aku menjadi praktisi yang belajar dari situasi seperti apapun.

" Masalah sepele saja bu. Kadang ia tak bisa menerima konsekwensi dari kesepakatan atau tersinggung oleh temannya ..." Jelas kepala sekolah.


Aku jadi ingat beberapa kasus anak yang sulit dan orang tuanya berkonsultasi padaku. Ada yang menolak makan dan minum. Orang tuanya menjadi direpotkan oleh anak TK besar ini dari sejak ia bangun hingga ia tidur lagi. Bahkan orang tuanya tak punya waktu kecuali saat ia berada di sekolah. Setelah saya gali, masalah justru ada pada ibunya. 
Atau anak belum berusia tiga tahun yang sering mengamuk dan tak jelas maunya, sehingga sering dimarahi oleh orang tuanya. Apalagi saat ia punya adik,tingkah lakunya semakin menjadi. Sekali lagi, masalahnya ternyata ada pada kedua orang tuanya.
Kata rekanku yang ahli Psikiatri, kadang saat menangani satu klien, sesungguhnya ia menangani beberapa klien sekaligus. Misal seorang ibu yang membawa anak gadisnya yang stress berat. Ternyata dari penggalian sang psikiater, penyebab sress adalah sikap, pola asuh dari orang-orang terdekatnya. Jadi yang seharusnya diterapi bukan saja klien, tapi juga ibu dan bapaknya.
Dalam sebuah keluarga tentu saja semua saling berhubungan. Apalagi antara orang tua dan anak. Kesalahan dalam pola asuh, ternyata berpengaruh besar pada karakter dan kesehatan jiwa anak.

Kesimpulan saya adalah : mari merawat jiwa anak yang menjadi amanah Allah, dengan memulai dari merawat jiwa kita sendiri.
Agar tidak menyesal di kemudian hari.

Silahkan berbagi pengalaman anda , cara merawat jiwa ini......

KASIH IBU SEPANJANG JALAN


Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Lagu itu sangat indah menurutku. Cocok menggambarkan kasih sayang ibuku padaku.  Kuceritakan ya tentang ibuku.
Nama ibuku Lasmiati, itu adalah nama pemberian kakekku. Ibu adalah anak ke dua dari lima bersaudara. Masa kecil hingga sekolah dan menikah, ibu tinggal menjadi anak asuh mbah Bun yang sebenarnya adalah kakak sepupunya. Mbah bun tak punya anak perempuan, hanya dua anak laki-laki,  jadi ibu memiliki 2 adik laki-laki dari ibu angkatnya.
Ibu  lahir pada tanggal 13  Agustus 1945. Tanggal lahir ibu ada 2, aku sendiri tidak tahu asal-muasalnya. Namun mungkin begitulah pada masa dahulu, administrasi kurang bagus, dimana situasi keamanan masih belum stabil.
Ibu bersekolah SD di Slahung, kota kecamatan tempat tinggal ibu. Lalu sekolah SMP di SMP Muhamadiyah Ponorogo. Setelah lulus SMP, ibu menikah dengan ayahku dan diboyong ke jogjakarta. Saat itu ayahku sedang menempuh kuluah S1 di IAIN Jogjakarta. Sekarang kampus itu telah berganti nama menjadi UIN.
Kehidupan yang berat telah dilalui ibu sejak kecil. Ibu angkatnya adalah seorang pedagang kelontong yang sangat ulet. Maka ibukupun harus bekerja keras disetiap hari disela-sela waktu sekolahnya. Juga mengasuh dua adik angkatnya.
Setelah menikah dengan bapak yang masih mahasiswa, ibu membuka warung kelontong kecil untuk penghidupan rumah tangga barunya. Bapak tinggal di Jogja cukup lama, hingga ibu melahirkan empat anak dan dua kali keguguran. Saat itu bapak tugas belajar. Jadi mendapat beasiswa. Akibat kuliah sambil berkeluarga, bapak studi menempuh dalam waktu yang cukup lama. Bapak ibu dikarunia 4 anak, aku adalah anak kedua. Kakakku perempuan dan dua adikku laki-laki.
Aneka cobaan hidup pernah dialami ibu. Saat hamil anak pertama, atau kakakku, ibu mengalami kecelakaan. Akibatnya kakinya patah di paha, giginya rompol tujuh dan rahangnya bergeser sendinya. Ibu melahirkan anak pertama dalam keadaan masih opname akibat kecelakaan. Hingga kini, dampak dari kecelakaan tersebut masih terasa. Ibu menjadi mudah pusing sepanjang hidupnya, dan menderita sinusitis. Kakinya juga terasa nyeri jika berjalan lama atau naik tangga. Dalam keadaan demikian, ibuku tetap pekerja keras. Ketika kami pindah ke Wonogiri setelah penempatan bapak, ibu membuka lagi warung kelontong.
Rumah kontrakan orang tuaku pernah terbakar. Aku tidak bisa mengingatnya, karena aku masih terlalu kecil. Ibu pernah mengalami saat-saat sulit mendampingi kakakku yang sering sakit. Pernah jatuh dan patah tangannya. Sepertinya semua jenis mushibah pernah dialaminya.
Terakhir selama sekitar 5 bulan, ibu mendampingi bapak yang terkena kanker mesenterium pada masa pensiunnya. Bapak harus dirawat di rumah sakit, dan ibu selalu setia mendampingi, tak pernah semalampun ibu meninggalkan bapak. Ibu selalu tidur di RS, disamping bapak.
Setelah bapak meninggal, ibu berjuang menyekolahkan dua adikku yang belum lulus S1. Kami bahu membahu mencari biaya pendidikan yang tidak sedikit.
Sekarang ibu memilih tinggal bersamaku. Inilah rejeki bagiku, dan anak-anakku. Ibu masih giat beraktifitas dan jarang mengeluh walaupun kadang tengah menderita sakit.Ibu membantuku mengelola rumah daat aku harus keluar kota. Ibu sangat menyayangi anak-anakku  bahkan tanpa syarat.
Semoga Allah menerima semua amal ibadah ibuku. Semoga Allah menjadikan kami anak yang berbakti kepada orang tua.

BELI MAINAN KE JEPANG



“ Umi aku mau sodaqoh mainan...” kata Revo sambil memilih milih mainannya. Kulihat ia meletakkan beberapa mainan di kursi. Ada robot yang telah kehilangan anggota badan, ada juga yang masih utuh. Ada beberapa mobil-mobilan yang tidak lagi ia inginkan walaupun masih bagus.

“ Mengapa kamu pengin sodaqoh po ?” tanyaku ingin tahu.
“ Kata abi, kalau aku menjual atau sodaqoh mainan, aku boleh beli mainan lagi...Aku ingin ultraman nexus yang bagus...”

Kubiarkan saja ia terus memilih mainan. Setelah ada sekitar 15 mainan terkumpul, ia menoleh lagi ke arahku.
“ Sudah banyak Mi, tapi sebenarnya aku mau memberikan semua mainanku biar boleh beli yang banyak...kalau menjual kan sulit jadi sodaqoh saja . Umi ini diberikan ke siapa ya...?”
“ Ya nanti ke Udin...” kataku. Udin adalah anak asisten rumah tanggaku.

“ Bintang juga, Naufal, Ahmad trus teman-teman sekolahku...” kata Revo dengan semangat.
“ Waah kalau teman sekolahmu, nanti tidak cukup...kan temanmu banyak...”
Revo setuju untuk membagikan hanya ke tetangga.
Aku mengambil tas dan memasukkan mainan yang telah dipilihnya.

Revo beralih ke komputer. Membuka YouTub dan mencari gambar ultraman.
Setelah menemukan ia berteriak gembira.
“ Umi aku sudah menemukan yang akan dibeli....besok pagi kita harus ke Jepang !”
“ Ke Jepang ? Ngapain Po ?”
“ Beli mainan yang asli. Ini bagus sekali...!”

“ What ? ke Jepang untuk beli mainan....?!” si Nomer 4 nimbrung sambil geleng-geleng kepala. Aku memberi isyarat agar ia tidak campur tangan dalam percakapanku dengan Revo.
“ Boleh saja kita ke Jepang, tapi harus beli tiket dulu. Kalau mau beli tiket  harus punya paspor dan visa, baru boleh beli tiket.”

“Paspor itu apa ? Visa itu apa ?” tanyanya penuh minat.
“Paspor itu buku catatan untuk perjalanan keluar negeri. Keterangan bahwa kita orang Indonesia yang baik yang boleh pergi ke mana-mana di negara lain. Kalau visa itu ijin berkunjungdari negara yang didatangi. O jepang sudah membolehkan kita berkunjung ke sana, nah baru kita beli tiket...”
Revo manggut-manggut entah faham entah tidak. Mungkin ia berusaha mencerna.

“Kalau urus paspor dan visa, mungkin kita butuh biaya 5 juta. Tiketnya juga 5 juta, pulang pergi 10 juta. Jadi 1 orang ke jepang butuh uang 15 juta. Kalau umi ikut, abi ikut, bertiga kita butuh uang 45 juta. Belum yang untuk beli mainannya...” kataku memberikan gambangan kasar pembiayaan yang persisnya aku sendiri kurang tahu harga tiketnya.

“ Abi punya uang tidak 45 juta ?” tanya Revo serius.
“ Sekarang belum punya..... Abi harus jual mobil dulu kalau mau punya uang cepat.”
“ Ya mobilnya dijual besok pagi...tapi mobil yang mana ? “ tanyanya serius.
“ Yang punya kita kan cuma sedan, punya abi, sama visto, kalau visto dijual kan umi nggak bisa kemana mana...” kataku.
“ Ya sedan saja...bilangin abi, besok dijual ya..”
“ What ?! Jual mobil untuk beli mainan...?!” si nomer 4 nimbrung lagi. 

“ Settt.!” Aku memberi isyarat lagi dengan tertawa tertahan.

“ Tapi Po, kalau mau jual mobil itu, mobilnya harus dipotret dulu, trus dimuat nih di toko bagus, atau berniaga.com. Nih umi tunjukkin...”

Aku membuka situs tersebut dan menunjukkan pada Revo contoh orang jualan aneka barang.
“ Nih...ada rumah, ada mobil, ada mbak-mbak ( sebenarnya nawarin mobil), ada bayi ( sebenarnya nawarin pakaian bayi)...”

“ Ada kucing...!” seru Revo gembira.
Kami jadi asyik melihat-lihat aneka barang yang dijual. Burung juga ada, anjing...kamera, alat musik...dan Revo justru tertarik dengan aneka barang yang ditawarkan.
“Kalau sudah di foto, dipasang di sini, belum tentu sehari dua hari laku, jadi harus sabar...OK ? Besok Revo cerita dulu rencananya ke abi....”
Revo mengangguk gembira dan kami beralih ke aktivitas mengerjakan Pe eR.

Malamnya saat abinya pulang, aku menunggu cara Revo menceritakan hasil pembicaraan kami.
“ Abi, besok kita jual mobil untuk beli mainan ke Jepang ya...? Umi tadi nunjukkin jualannya di komputer. Ada bayi juga lho Bi, ada kucing, ada mbak-mbak...bla-bla ..besok tak tunjukkin ya Bi di komputernya...”
Abinya yang terlongong-longong hanya mengiyakan saja.

Namun pagi ini, Revo berubah rencana.
" Mi, beli mainannya juga bisa ke Amplas. Aku pernah lihat di sana juga ada ultramen nexus...Jadi kita tidak harus ke Jepang" Hmm. Begitulah, ganti hari ganti rencana. Entah siang nanti berubah apa.

Kubiarkan saja semalam ia punya keinginan pergi ke Jepang. Walaupun tujuannya sungguh sederhana dan menggelikan: membeli mainan. Tapi itulah dunianya saat ini, dunia bermain. 

Malam sebelumnya kami sibuk membuat model rumah, garasi dan lapangan parkir dari kardus bekas. Ia menikmatinya dan sangat gembira dengan miniatur sederhana itu. Malam ini ia ingin ke Jepang membeli robot. Entah besok apa lagi yang diinginkannya.

Keinginan tersebut tidak kupatahkan dengan alur berfikir orang dewasa yang mungkin memandang mimpinya adalah kesia-siaan: Masak ke Jepang hanya beli mainan...yang benar saja.

Biarlah Revo sekarang menginginkan itu. Masih banyak waktu bagiku untuk menjelaskan secara bertahap tentang prioritas, dan sebagainya. Dalam diskusi kami tadi ia menjadi mengerti tentang jual beli on line, tentang paspor, visa, proses mencari pembiayaan untuk mewujudkan impian. Yang lebih penting adalah memperhatikan mimpi-mimpi anak dan pendapatnya. Bagian dari upaya merawat jiwanya. 


Terus bermimpilah anakku. Kudoakan suatu saat kelak engkau bisa ke Jepang, bukan sekedar membeli mainan. Tapi sambil membeli mainan juga boleh. (Ayahnya waktu ke Jepang juga membeli oleh-oleh mainan).


‘ 

Monday, September 23, 2013

PERTENGKARAN KARENA ANAK SULIT MAKAN

Kasus 1

Ibu A dan bapak B menikah 7 tahun yang lalu. Punya seorang putri 5 tahun, duduk di sekolah TK. Masalah bagi bapak B, ibu A sangat perhatian  terhadap kesehatan putrinya. Ia memaksakan untuk putrinya harus minum 1 gelas air tiap 2 jam. Makan dengan jadwal dan jumlah gizi yang telah ia hitung. Akibatnya anaknya justru menolak makan dan minum. Sepanjang hari sejak si anak bangun hingga malam jam 22.00. ibu A disibukkan dengan memasukkan porsi makan yang ia inginkan. Seringkali si anak ngambek dan mogok makan minum. Akibatnya terjadi pertengkaran pada ibu anak dan merembet pada pertengkaran suami istri. Bahkan orang tua yang tinggal persis di sebelah rumahnya ikut campur tangan dan menjadi konflik menantu mertua. Ibu A disalahkan atas strokenya bapak mertua, dianggap pertengkaran suami istri itu yang memicu stroke sang kakek.
Bapak B datang pada saya setelah ibu A, pulang ke rumah orang tuanya tanpa ijin suaminya, setelah malam sebelumnya mereka bertengkar atas topik yang sama.



Ulasan :
Saya mencoba menggali riwayat pernikahan mereka dan masalah penting lain dari sisi bapak B. Ternyata dari cerita satu fihak, saya selalu sampai pada kesimpulan yang sama untuk setiap kasus pertengkaran dalam keluarga.
Yaitu bahwa tak ada yang mutlak salah dan tak ada yang mutlak benar.
Kedua belah fihak punya andil salah yang prosentasenya selalu bergeser dari waktu ke waktu. Kadang dalam satu pertengkaran, lebih banyak penyebabnya pada fihak istri. Lalu pada proses selanjutnya justru suami yang mengambil porsi kesalahan lebih banyak
Maka saya katakan kepada bapak B.
“ Karena yang datang kepada saya adalah bapak B, maka saya akan memulai dengan bapak. Bersediakah bapak bekerjasama untuk menyelesaikan masalah ini ?” Setelah bapak B menyetujui, maka saya sampaikan beberapa saran.
1. Sebagai seorang suami, saya ajak ia untuk menegakkan keqowaman dengan memberi ruang pada istrinya untuk membina diri. Difasilitasi untuk ikut pengjian dan beberapa seminar serta pelatihan pendidikan anak, agar istri lebih luas pengetahuan dan wawasannya. Ini adalah untuk kebaikan jangka panjang. Kalau ada dana juga berlangganan majalah atau tabloit yang terkait pembinaan diri dan pendidikan anak.
2. Memulai dengan memberi teladan dalam bersikap, berbicara dan mengambil keputusan. Lebih menunjukkan kasih sayang pada istri, karena istri yang dilimpahi cinta oleh suami, akan memiliki lebih banyak energi untuk mencintai anaknya. Sering mengajak istri dan anak untuk rekreasi sederhana seperti naik motor sore-sore nonton kereta api, atau silaturahmi ke rumah teman istri, agar istri lebih rileks menjalani kehidupan.
Saya juga mengarahkan beberapa sikapnya yang kurang tepat, yang sempat ia ceritakan, seperti saat menyuruh istrinya pulang ke rumah orang tuanya jika hanya mengajak bertengkar terus. Atau mengatakan jangan pernah lagi membuatkan teh pagi untuk suami jika tidak ikhlas. Saya minta ia meminta maaf dan menjemput istrinya dengan membawa oleh-oleh sederhana yang akan menyenangkan istrinya.
3. Saya minta ia mengajak istrinya untuk bertemu dengan saya. Menjadi bagian saya sementara ini untuk menasehati istrinya, pada saat istri sedang marah dan tidak mau lagi mendengarkan suaminya.
Bagian dia adalah berbuat baik dan membujuk istrinya untuk menemui saya. Nasehat dan arahan menjadi bagian saya.
Pada awalnya ia tidak yakin akan berhasil membawa istrinya menemui saya. Saya yakinkan bahwa keinginan kuat dari seorang suami untuk mempertahankan rumah tangga, dan doa serta munajat pada Allah, akan diberi jalan dan dimudahkan. Alhamdulillah Bapak B pulang dengan harapan baru.

Dua pekan berselang, bapak B mengontak membuat janjian untuk bertemu saya. Alhamdulillah pada suatu malam yang dijadwalkan, kami bertemu.
Kulihat istrinya seorang perempuan manis yang pendiam. Ia membentengi diri dan nampak apatis. Senyumnya sangat terpaksa, dan tak sepatah katapun keluar selama bertamu kecuali menyebytkan namanya sendiri.
Aku tidak melakukan banyak nasehat, hanya berbasa-basi dan bergurau saja untuk memecahkan pertahanannya. Sedikit arahan tentang rumah tangga saya sisipkan hanya dasar-dasarnya saja. Hingga pulang, tak ada kemajuan berarti. Saya pun nyaris putus asa.
Pekan berikutnya sungguh saya terkejut mendapat SMS dari ibu A yang ingin membuat janjian bertemu secara pribadi dengan saya.
Jadilah kami bertemu dan mengobrol, 2 kali malah. Dia bercerita banyak, menangis dan tertawa menceritakan seluruh perjalanan hidupnya. Saya sampaikan penghargaan betapa ia adalah perempuan yang kuat dan penuh cinta. Hanya sebagian sifat baiknya tertutup lantaran terlalu fokusnya ia pada hal yang cukup parsial. Saya juga sampaikan betapa besar cinta suaminya padanya, namun saya lihat sebagai orang yang tidak romantis, suaminya gagal atau belum berhasil mengekspresikan cinta  dengan indah.
Saya sampaikan pendapat saya tentang cinta mereka yang tertutup kabut ego, sikap bawaan masa lalu dan problem sederhana yang sekarang mereka hadapi.
Alhamdulillah ibu A minta pertemuan kedua pekan berikutnya setelah kami merumuskan PR-PR yang disanggupinya. Kami berbincang layaknya kaka dan adik tanpa sekat psikologis lagi.
Saya sampaikan bahwa tugas ibu A adalah merubah dirinya sendiri, bukan merubah suaminya. Berfokus pada kebahagiaannya sendiri dengan sikap positif, tidak terpengaruh respon suami atau keluarga besar yang  bisa disalah fahami. Adapun suaminya, menjadi tanggung jawab saya sementara ini untuk menasehatinya. Tentang anaknya, saya berikan beberapa wawasan dan pengalaman dalam pendidikan anak.
Demikain pertemuan dengan ibu A saya sampaikan pada bapak B secara ringkas berikut permintaan agar bapak B  memberi dukungan pada perubahan yang akan dilakukan ibu A.
Beberapa bulan berlalu, suatu ketika ibu B mampir untuk bertemu denganku dengan wajah yang jauh lebih cerah. Ia hanya mampir untuk memberiku buah tangan dan mengabarkan bahwa situasi rumah tangganya sekarang jauh lebih baik. Ia merasa telah menemukan kunci untuk meraih  hati suaminya dan meraih kebahagiaan bersama.
Tentang beberapa bahasan anaknya yang sulit makan, akan saya kupas dalam artikel dunia anak.
Semoga seterusnya mereka menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Amin.


Sunday, September 22, 2013

Standar berbeda untuk keluarga


Pernahkan suatu ketika anda tanpa sengaja menyenggol atau menginjak orang yang belum anda kenal. Mungkin di kendaraan umum, di tempat belanja, di terminal, di trotoar, di rumah makan atau di tempat keramaian yang lain.
Apa yang kemudian anda ucapkan pertama kali ?
“Maaf tidak sengaja.. “ Tentu dengan tatapan bersalah, anda akan segera meminta maaf.
Pernahkan ketika anda sedang berbincang dengan rekan kerja anda, sahabat, relasi atau orang sudah anda kenal, tiba-tiba wajah teman berbincang tersebut berubah. Menampakkan suasana hatinya. Jika anda merasakan perubahan tersebut, anda akan bertanya,
“ Maaf, apakah saya telah menyinggung perasaan anda?”
“ Maaf, apakah pertanyaan saya membuat anda tersinggung...? Kalau begitu lupakan saja”
Itu adalah dialog dan etika sehari-hari yang kita pakai pada umumnya.
Demikian pula ketika seseorang yang tidak anda kenal berbuat baik kepada anda. Suatu ketika tanpa sengaja ada barang anda yang tercecer, mungkin pulpen, buku, kaca mata, topi atau dompet. Lalu seseorang mengejar anda untuk mengembalikan barang tersebut. Tentu anda akan mengucapkan terima kasih. Semakin besar nilai barangnya, anda akan semakin amat sangat berterima kasih.
Ketika seorang rekan berbaik hati membawakan barang anda, menawari anda permen atau tisu, atau kebaikan kecil lainnya, anda akan berterima kasih. Jika kebaikan itu dilakukan berulang-ulang, anda tentu ingin membalasnya.
Itu juga bagian dari etika dan akhlaq yang baik.


Namun pernahkan anda memperhatikan hubungan dalam sebuah keluarga.
Justru antara suami dengan istri, atau istri dengan suami, atau orang tua dengan anak dan sebaliknya. Dalam hubungan yang sangat intens dan berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil ada hal-hal yang membuat tidak nyaman. Kesalahan kecil atau bahkan kesalahan besar. Namun apakah terjadi pola segera meminta maaf?
Ketika ada kata-kata yang menyakitkan, ketika meninggalkan musyawarah dalam mengambil keputusan, ketika lupa janji. Terasa berat untuk meminta maaf justru pada orang yang dekat, dengan pasangan atau dengan anak. Padahal istri sampai menangis tidak dapat tidur karena terluka hatinya. Padahal anak sampai terisak-isak lantaran sedihnya. Atau mungkin suami  sudah sangat geram dan sedih lantaran perbuatan istri.
Demikian pula dalam hal mengukur dan menghargai kebaikan pasangan, anak atau orang tua. Seorang istri yang mendapat nafkah bulanan dari suaminya, apakah setiap kali suaminya memberi maka ia mengucapakan terima kasih ?
“Alhamdulillah, terimakasih ayah, atas uang belanjanya..”
Namun tak jarang yang justru memberengut, dan berkata ketus:
“ Kok cuma segini ayah, mana cukup...?!”
Atau mungkin ada yang berdalih, “ kan suami memberi istri itu adalah kewajibannya, jadi memang seharusnya demikian. Tidak perlu setiap kali berterimakasih...”
Ketika pasangan mau melayani hubungan, ketika suami memberi nafkah bati, pernahkan terucap terima kasih kepada pasangan ?
Saat seseorang tidak melakukan kewajiban, secara umum akan dianggap sebagai orang yang tidak baik.Maka setiap orang melakukan kewajiban, tentu merupakan kebaikan.Bukankah tukang parkir yang membantu anda memutar mobil, dan andapun membayarnya, masih anda ucapkan terima kasih...?
Ada pasangan yang telah lama pisah ranjang lantaran istri menolak melayani suami, atau sebaliknya suami yang tak pernah lagi memberi nafkah batin, padahal pasangannya sangat membutuhkan. Jika ada yang melakukan kewajiban tersebut, bukankah itu kebaikan yang layak untuk mengucap terima kasih.
Sebaliknya juga seorang suami yang menyaksikan istrinya melakukan banyak hal untuk dirinya dan anak-anaknya. Mendapati anak yang sudah dimandikan, wangi bersih dan sehat, acapkali seorang ayah menganggap biasa saja. Tak ada terima kasih pada istri yang telah melakukannya. Namun jika pembantu yang melakukan dan menyerahkan anak yang sudah bersih dan cakep itu, sang ayah akan bilang “ terima kasih bik..”
Waah.
Seorang istri yang sudah ikut banting tulang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, membantu menemani anak belajar, membuat minum, menyuapi anak, memasak makanan....belum tentu terucap terimakasih dari suami dan anak-anak.
Jika anda membayar guru les privat yang menemani anak belajar selama 1 jam, dan anda telah membayarnya, ia berpamitan dan anda akan mengucapkan terima kasih. Apalagi jika nilai anak menjadi bagus, mungkin anda rela memberinya bonus. Para suami yang mendapati istrinya membimbing anak segera bisa membaca, menjadi juara dan berprestasi, belum tentu berterima kasih atas semua jasa istrinya.
“ Ah kan kewajiban ibu untuk menemani belajar dan mendidik anak...” sesekali ada juga yang berdalih demikian.
Lah, kalau ada ibu yang menelantarkan anaknya, anak belajar malah ditinggal nonton sinetron. Anak lapar tidak diberi makan, anak sakit dibiarkan...apakah itu perbuatan baik? Tentu orang akan menyumpahi...,” ibu macam apa itu!”
Jadi, jadi...
Hmm mulailah merenungkan. Apakah diri kita bagian dari ilustrasi standar ganda? Dimanakah posisi anda? Apakah anda adalah orang yang mudah meminta maaf kepada orang asing dan enggan untuk segera meminta maaf pada istri atau anak. Semoga tidak demikian. Semoga anda adalah orang yang ringan untuk meminta maaf dan memaafkan pasangan.
Apakah anda orang yang pelit berterimakasih kepada pasangan dan anak, sementara mudah berterimakasih kepada teman atau orang asing...?
Jika demikian, saatnya untuk bertaubat. Sadarlah, segera meminta maaf dan segera berterima kasih.Sebelum terlambat.
Maaf jika ada yang tersinggung.
Sekedar perenungan dan pengingatan ya...





Saturday, September 21, 2013

HARGA PEMBELAJARAN.

HARGA PEMBELAJARAN



" Umi aku mau minum...hauss..." kata Revo, 6 tahun,  sambil main game di depan komputer. Hari sabtu ini ia punya sedikit waktu luang sebelum pergi ke acara POMG di rumah salah seorang temannya nanti jam 08.30.
Aku yang sedang jadi emak blogger, menoleh ke arahnya.
" Ayo umi temani bikin minum ke dapur...."
Revo bangkit dengan enggan setelah mem-pause game nya.
Menuju rak piring ia mengambil gelas terbesar yang kami miliki. Volumenya mungkin sekitar 500 cc.
" Gelasnya pakai yang ini..." serunya gembira. Aku yang mengekor dibelakangnya, mengiyakan dan mengembalikan gelas biasa yang telah kuambil.
" Gelasnya taruh dimeja, sekarang ambil airnya di kulkas...." kataku sambil menyiapkan nutrisari rasa jeruk kesukaannya. Revo berusaha menuangkan air dingin ke dalam gelas. Beberapa genangan kecil berceceran di meja makan. Seperti merasa bersalah, ia menyentuh genangan air itu dengan ujung telunjukknya lalu..
" Eitt....jangan dijilat, nanti ambil lap untuk mengelap..." Aku sigap memegang jarinya yang nyaris masuk muluk. Revo meringis malu.
" Ini nutrisarinya dituang sendiri..." aku mengangsurkan sachet kekuningan.
" Tapi ini butuh dua biar enak..." tawarnya.
" Okee..." kutambah lagi satu sachet.
" Membukanya sulit..." rengeknya.
" Revo bisa, ayo belajar kekuatan tangan. Ini juga ada gunting....kan Revo sudah tahu caranya."
Tangan mungilnya ternyata sungguh kuat, tanpa gunting ia menyobek...dan blarr. Sachet terbuka dengan cukup lebar hingga sebagian isinya bertebaran ke lantai.
" Ini yang bisa diselamatkan ..." kataku sambil menuang bagian yang tersisa ke dalam gelas.
" Yang satunya pakai gunting saja..."
Sukses membuka dan menuangkan, ia mengaduk-aduk hingga rata. Aku mengambil kain lap dan membereskan kekacauan yang ditimbulkan dari proses membuat minum itu.
" Sekarang umi yang bersihkan, besok kalau ada yang berceceran lagi, Revo sendiri yang membereskan ya..."
Ia mengangguk dan mulai menyeruput minumnya. Sambil senyum-senyum melek-merem , ia menggunakan sendok berulang-ulang. Sepertinya sangat menikmati.
" Enaak....?"
" He-eh "
" Revo pinter bikin minum sendiri ya..."
" He-eh"
" Besok kalau haus gak usah minta dibikinan sama eyang, Revo insya Allah bisa bikin sendiri..."


Itulah episodeku pagi tadi.
Setiap hari adalah pembelajaran bagi kami. Bagiku belajar untuk menjadi orang tua yang seharusnya telaten melatih anak mandiri. Dan tentu juga bagi Revo.
Godaan menjadi orang tua yang mengaku sibuk sepertiku, kadang inginnya cepat. Padahal anak butuh waktu untuk proses belajar. Mungkin aku memang bisa membuatkan minum dalam hitungan detik, tanpa harus mengelap lantai dan meja. Namun untuk proses pembelajaran, mungkin 5- 10 menit harus kuluangkan menemani setiap langkahnya, mengomentari dan memaknainya.
Itu masih terus berlanjut dalam proses menemani mandi yang bersih dan benar, berpakaian, menghabiskan sarapan....
Kesabaran dan waktu adalah harga dari sebuah proses pembelajaran, dengan bumbu sedikit repot.
Tidak apa-apa ya, untuk masa depan anak kita.

Mertosanan kulon, 21 september 2013