Sejak kami menikah dan menjadi ‘kontraktor’ selama 15 tahun,
kami kurang beruntung dalam urusan halaman belakang. Rumah pertama kami adalah pinjaman gratis
dari seorang dosen yang kebanyakan rumah. Rumahnya besar dengan 4 kamar dan
garasi yang muat dua mobil, terlalu besar untuk pengantin baru, namun tetap tidak
memiliki halaman belakang. Hanya halaman samping, itupun sedikit tempat
menjemur baju. Juga halaman depan yang berukuran 2x3 m2.
Monday, September 30, 2013
ANAK-ANAK DAPUR
Di rumah mertuaku, dapur adalah pusat aktivitas
Sebagai keluarga besar, dan memiliki rumah yang besar, maka
dapurnya juga besar.
Pertama kali menjadi menantu, aku takjub melihat besar dan
banyaknya pawonan ( tungku kayu bakar) hingga kuhitung jumlah lubangnya ada 9.
Kalau kompor gasku hanya dua tungku, pawonan eyang ada 9 tungku. Yang dipakai
sehari-hari hanya dua atau tiga. Saat ada acara atau ‘nduwe gawe’ barulah semua
tungku dipakai.
Thursday, September 26, 2013
DUA KILO BUAH MANGGIS
" Umi, bolehkan aku hari Ahad nanti bermain futsal ?" tanya si nomer
5 penuh harap.
Aku meneliti matanya, dan berfikir mencari jawaban yang tepat. Melihat binar penuh harap, tak tega aku menolaknya.
" Apakah hari Senin kamu ada mid semester ? Jika ada, tidak boleh main futsal di hari Ahad, karena kamu harus belajar. jika tidak mid, kamu boleh futsal..."
" Hore..." soraknya kegirangan " Aku tidak mid, jadi boleh ya mi...?"
Masih saja bertanya, seolah tak yakin dengan jawabanku.
" Mainnya dimana ? Sama siapa ?"
" Sama teman-temanku. Kumpulnya di rumah Nur Ilham. Umi tahu kan rumahnya ?"
Aku mengiyakan.
" Tapi aku harus ikut lomba Spelling Bee dulu, jadi nanti habis lomba baru main futsal. Sebaiknya aku langsung bawa perlengkapan futsal atau aku pulang dan ganti baju di rumah lalu baru diantar lagi ?" Ia memberondongkan pertanyaan.
" Lomba dulu, pulang, baru berangkat lagi..."
" Ok. tapi mi, bolehkah aku minta kaus futsal...?"
" Bukannya kamu sudah pernah dibelikan kaus...baru dipakai beberapa kali kan ?"
" Itu sudah kependekan Mi....tidak enak dipakai..."'
" Ok kalau harganya gak mahal, umi belikan ..."
" Trus sepatunya...?"
" Lho, kan juga sudah dibelikan sepatu waktu kamu mau ambil eskul fuitsal. Baru kamu pakai berapa kali, trus kamu sakit dan tidak pernah dipakai lagi ?"
" Itu sepatu sepakbola. Sepatu futsal beda lagi..."
" Emang apa bedanya ? Emang ada larangan futsal pakai sepatu sepakbola...?" aku sungguh keheranan.
" Iya mi, gak boleh. ini lapangannya indoor. Menyewa, kalau pakai sepatu sepakbola kan merusak karpetnya. sepatu sepakbola itu runcing alasnya...."
Hmmm jadi begitu ya. Sebentar putar otak dulu.
" Abang ingat nggak, terakhir abang main futsal, abang masuk rumah sakit, sampai dua kali. Sepuluh hari. Sepatunya mungkin seratus dua ratus ribu, tapi berapa juta untuk biaya RS dan dua pekan abang tidak sekolah..."
Ia diam saja.
Peristiwa itu terjadi satu setengah tahun yang lalu. Difa kecapekan selepas outing, langsung main futsal dan Seninnya sakit, opname lima hari dengan indikasi infeksi saluran kemih, saluran cerna dan cacar air. Pulang, di rumah tiga hari, masuk RS lagi 5 hari.
Rupanya saat outing ia menahan kencing seharian. Air minumnya habis, karena memang ia sangat doyan minum, dan futsal dalam keadaan bekal uang dan air minum sudah habis. Saat outing ia mungkin jajan sembarangan.
Jadi lengkaplah, ia kebanjiran penyakit karena dua aktivitas itu.
Aku lantas menghentikan kegiatan futsalnya. Hingga hari ini.
Walaupun demikian, ia tetap bermain bola atau futsal saat istirahat kelas atau sepulang sekolah, di halaman sekolah.
Namun tak pernah lagi secara resmi mengenakan asesoris dan bermain di tempat serius.
" Sepatunya umi carikan pinjaman saja ya...? Tokh kamu
jarang-jarang main...."Aku meneliti matanya, dan berfikir mencari jawaban yang tepat. Melihat binar penuh harap, tak tega aku menolaknya.
" Apakah hari Senin kamu ada mid semester ? Jika ada, tidak boleh main futsal di hari Ahad, karena kamu harus belajar. jika tidak mid, kamu boleh futsal..."
" Hore..." soraknya kegirangan " Aku tidak mid, jadi boleh ya mi...?"
Masih saja bertanya, seolah tak yakin dengan jawabanku.
" Mainnya dimana ? Sama siapa ?"
" Sama teman-temanku. Kumpulnya di rumah Nur Ilham. Umi tahu kan rumahnya ?"
Aku mengiyakan.
" Tapi aku harus ikut lomba Spelling Bee dulu, jadi nanti habis lomba baru main futsal. Sebaiknya aku langsung bawa perlengkapan futsal atau aku pulang dan ganti baju di rumah lalu baru diantar lagi ?" Ia memberondongkan pertanyaan.
" Lomba dulu, pulang, baru berangkat lagi..."
" Ok. tapi mi, bolehkah aku minta kaus futsal...?"
" Bukannya kamu sudah pernah dibelikan kaus...baru dipakai beberapa kali kan ?"
" Itu sudah kependekan Mi....tidak enak dipakai..."'
" Ok kalau harganya gak mahal, umi belikan ..."
" Trus sepatunya...?"
" Lho, kan juga sudah dibelikan sepatu waktu kamu mau ambil eskul fuitsal. Baru kamu pakai berapa kali, trus kamu sakit dan tidak pernah dipakai lagi ?"
" Itu sepatu sepakbola. Sepatu futsal beda lagi..."
" Emang apa bedanya ? Emang ada larangan futsal pakai sepatu sepakbola...?" aku sungguh keheranan.
" Iya mi, gak boleh. ini lapangannya indoor. Menyewa, kalau pakai sepatu sepakbola kan merusak karpetnya. sepatu sepakbola itu runcing alasnya...."
Hmmm jadi begitu ya. Sebentar putar otak dulu.
" Abang ingat nggak, terakhir abang main futsal, abang masuk rumah sakit, sampai dua kali. Sepuluh hari. Sepatunya mungkin seratus dua ratus ribu, tapi berapa juta untuk biaya RS dan dua pekan abang tidak sekolah..."
Ia diam saja.
Peristiwa itu terjadi satu setengah tahun yang lalu. Difa kecapekan selepas outing, langsung main futsal dan Seninnya sakit, opname lima hari dengan indikasi infeksi saluran kemih, saluran cerna dan cacar air. Pulang, di rumah tiga hari, masuk RS lagi 5 hari.
Rupanya saat outing ia menahan kencing seharian. Air minumnya habis, karena memang ia sangat doyan minum, dan futsal dalam keadaan bekal uang dan air minum sudah habis. Saat outing ia mungkin jajan sembarangan.
Jadi lengkaplah, ia kebanjiran penyakit karena dua aktivitas itu.
Aku lantas menghentikan kegiatan futsalnya. Hingga hari ini.
Walaupun demikian, ia tetap bermain bola atau futsal saat istirahat kelas atau sepulang sekolah, di halaman sekolah.
Namun tak pernah lagi secara resmi mengenakan asesoris dan bermain di tempat serius.
Ia diam dengan wajah kecewa.
" Apa semua temanmu memakai sepatu ? "
" Ada yang tidak "
" Trus mereka pakai apa ?"
" Gak pakai apa-apa ..."
" Oo jadi gak pakai sepatu boleh ?"
" Boleh"
Hmm jawaban pendek-pendek, artinya ia sedang kecewa.
Aku menghentikan acara masak dan duduk di sampingnya. Memeluk pundaknya.
" Abang boleh main futsal, umi akan belikan kaus baru dan carikan pinjaman sepatu, kalau tidak dapat......"
" .....aku nyeker saja...ada temannya kok..!"
" Ok deal..." aku melihat wajahnya kembali cerah.
Sambil kembali memasak, aku membuat opsi baru.
" Seandainya Bang, ini seandainya lho, kamu tidak jadi futsal saja, umi akan belikan kamu buah manggis dua kilo..."
" Manggis dua kilo ?" Buah manggis adalah kesukaannya.
" Ya dua kilo untuk kamu semua...dan kecil-kecil..."
" Dua kilo manggis, kecil-kecil gak ada bijinya ? Waw..."
Ia mengulang dengan gembira. Ia sedang menimbang-nimbang.
" Tapi aku tetap pengin futsal..." desisnya kemudian.
" Ok Futsal...nanti sore beli kausnya..." jawabku cepat.
Singkat cerita, esoknya ia berangkat lomba spelling bee hingga tengah hari. Sepulangnya ia justru bermain bersama adiknya. Aku pura-pura lupa tentang rencana kami kemarin, padahal ia sudah punya kaus baru.
Namun sorenya aku tak tahan untuk bertanya:
" Abang, memangnya kamu tidak jadi futsal...?"
" Ya tidaklah Mi...kirain lombanya tidak lama. Kan futsalnya janjian jam 9, jadi saat aku selesai lomba, mereka sudah selesai futsal..." Ia bicara tanpa nada kecewa. Sekalipun tidak jadi futsal dan lombanya juga tidak menang.
" Ok kalau begitu, umi janji manggis dua kilo..."
Tak lama kemudian, hanya berselang beberapa menit, ada seseorang mengetuk pintu. Difa berlari menemui tamu.
" Umi ada orang mencari ustdz Cahyadi, kalau tidak ada mau ketemu ustadzah Ida..." katanya dengan nada bercanda.
Aku bergegas menemui suami istri dan seorang anak yang menjadi tamu kami.
" Assalamu'alaikum ibu. kami dari Purworejo, mau silaturahmi. Kalau ustadz tidak ada, ketemu ibu saja... Oya, ini oleh-oleh dari kami, buah manggis dan duku....Manggis Purworejo sangat terkenal manis dan bagus...."
Aku terpana.
Jadi saat sang tamu pulang dan aku masuk rumah...kupanggil Difa.
" Bang.... buah manggis kecil-kecil dua kilo...bonus duku...."
Difa menyambutnya dengan sorakkan syukur.
Allah telah membelikannya untukku. Alhamdulillah, tsumma alhamdulillah.
Rejeki yang tidak disangka-sangka.
KONSISTENSI KEBAIKAN
" Umi, kakiku semutan..." keluh Revo
pagi ini saat bangun tidur.
" Mana yang semutan ...?" kataku sambil memeluk dan memangkunya. Kupijit kaki kiri yang ditunjuknya.
" Eyang mana ?" tanya revo.
" Eyang sedang beli bubur. Tumben bangun tidur kok cari eyang, ada apa ?"
" ...kan eyang yang bisa mijit...."
Ooo, begitu rupanya.
" Umi juga bisa mijit kok, nih syafakallah...masih semutan apa tidak ?" terus kupijit kakinya.
" Semutan itu sebabnya apa to mi ? Nyembuhinnya gimana ?"
" Semutan itu mungkin karena tadi Revo posisi tidurnya kaki tertekuk. atau Revo kurang makan dan minum...." jelasku., " nanti kalau dipijit, trus Revo makan minum air anget, sembuh deh...insya Allah..."
...bla...bla ...dan Revo masih bertanya ini itu tentang semutan, menjadi kuliah pagiku.
Bukan bab kesemutan yang ingin kubahas, tapi bahwa Revo mencari Eyang untuk memijit kakinya. Eyang suka memijit. Kalau ada yang kecapekan selalu ditawari pijit, kalau membangunkan anak-anak dengan memijit. bahkan kalau aku berjalan kurang lurus akan bertanya,
" Tak pijeti piye,,,?" Namun aku menolak karena kasihan, masak dari bayi sampai setua ini masih dipijit ibu terus. Jadi gantian aku yang menawari pijit saat ibu capek. Namun pijitanku mungkin tidak enak, sehingga tidak ada yang kangen dengan pijitanku.
Sebaliknya, mungkin bagi Revo pijitan eyangnya adalah pijitan cinta yang nikmat.
Revo akan mencari aku jika minta minum susu. Atau minta dibacakan cerita menjelang tidur. Atau jika ingin belajar. Setiap pulang sekolah atau malam hari, ia akan menenteng tas dan membuntuti aku.
" Umii ayo belajar..." begitulah, aku bagi Revo identik dengan minum susu, membaca cerita, belajar dan tidur.
" Mana yang semutan ...?" kataku sambil memeluk dan memangkunya. Kupijit kaki kiri yang ditunjuknya.
" Eyang mana ?" tanya revo.
" Eyang sedang beli bubur. Tumben bangun tidur kok cari eyang, ada apa ?"
" ...kan eyang yang bisa mijit...."
Ooo, begitu rupanya.
" Umi juga bisa mijit kok, nih syafakallah...masih semutan apa tidak ?" terus kupijit kakinya.
" Semutan itu sebabnya apa to mi ? Nyembuhinnya gimana ?"
" Semutan itu mungkin karena tadi Revo posisi tidurnya kaki tertekuk. atau Revo kurang makan dan minum...." jelasku., " nanti kalau dipijit, trus Revo makan minum air anget, sembuh deh...insya Allah..."
...bla...bla ...dan Revo masih bertanya ini itu tentang semutan, menjadi kuliah pagiku.
Bukan bab kesemutan yang ingin kubahas, tapi bahwa Revo mencari Eyang untuk memijit kakinya. Eyang suka memijit. Kalau ada yang kecapekan selalu ditawari pijit, kalau membangunkan anak-anak dengan memijit. bahkan kalau aku berjalan kurang lurus akan bertanya,
" Tak pijeti piye,,,?" Namun aku menolak karena kasihan, masak dari bayi sampai setua ini masih dipijit ibu terus. Jadi gantian aku yang menawari pijit saat ibu capek. Namun pijitanku mungkin tidak enak, sehingga tidak ada yang kangen dengan pijitanku.
Sebaliknya, mungkin bagi Revo pijitan eyangnya adalah pijitan cinta yang nikmat.
Revo akan mencari aku jika minta minum susu. Atau minta dibacakan cerita menjelang tidur. Atau jika ingin belajar. Setiap pulang sekolah atau malam hari, ia akan menenteng tas dan membuntuti aku.
" Umii ayo belajar..." begitulah, aku bagi Revo identik dengan minum susu, membaca cerita, belajar dan tidur.
Kebaikan yang kita lakukan berulang, akan membekas dan membuat ikatan jiwa. akan mudah sekali menjadi label bagi kita.
Kemarin saya cerita tentang paman yang meninggal setelah pingsan selama 30 jam, saat sujud rekaat pertama sholat qobla dhuhur. Paman adalah orang yang konsisten melaksanakan sholat lima waktu di masjid. Dan Allah berkenan memanggilnya saat sholat di masjid. Konsistensinya berbuah manis.
Sementara bulikku, adalah orang yang suka memberikan hadiah atau oleh-oleh. Setiap kali berkunjung ke rumahku, mengunjungi ibuku, bulik pasti membawa aneka maskan. Ayam goreng, tempe tahu bacem, brongkos dan kadang mie goreng. Kadang juga dengan peyek atau kerupuk. Tak lupa sambel.
Maka jika di meja makanku ada brongkos, pasti suamiku akan bertanya:
" Bulik ke sini ya...?"
Kadang pertanyaannya demikian :
" Kapan bulik ke sini ?" Brongkos adalah jejak kehadiran bulik.
Sementara mertuaku, senang sekali jika dikirimi pulsa.beberapa kali aku mencoba merutinkan kirim pulsa, suatu ketika beliau menelepon aku dan bertanya ;
'" Umi kirim pulsa ya...? Kok ini ada pulsa masuk...?"
" Belum Yang, Eyang mau dikirimi pulsa ? "
" Ora, ini pulsane eyang ijih akeh, ojo kirim ndisik..."
Waah orang lain yang kirim, tetap dikira aku.
Di kampung, kami biasa menyuruh orang bersih-bersih. Menyuruh dengan diam-diam. Misalnya saat melihat masjid atau mushola nampak kotor dan banyak rumput, suamiku menyuruh orang upahan untuk membersihkan dan mengepel masjid. Mencabuti rumput dan sebagainya. Demikian pula kebun tetangga para janda tua yang tak kuat bekerja keras, kadang kami suruh orang untuk membantu membersihkan halaman dan membetulkan pagarnya. Juga gang masuk ke rumah kami.
Hingga suatu ketika saya terkejut saat ada tetangga yang komentar.
'"Waah sekarang, pak Cahyadi bersih-bersihnya sampai buk dhuwur...terima kasih ya bu, kampungnya jadi semilak..."
Aku kaget dikira aku yang mengupah sekian banyak orang untuk membersihkan semak pinggir jalan utama yang membelah kampung kami.Setelah aku cari tahu, ternyata itu orang upahan pak Lurah yang akan mendapat tamu agung. Pak Bupati akan berkunjung ke kantor kelurahan, jadi pak Lurah menyuruh banyak tukang untuk membersihkan dan merapikan jalan menuju Kelurahan. Waah...masak aku harus klarifikasi ke banyak orang.
Rasulullah memang pernah memesankan amal yang kontinu.
Ternyata dasyat ya jika bisa memelihara amal kebaikan yang kontinu.
Kita akan diingat dengan kebaikan yang rutin kita lakukan. bukan hanya di mata manusia, tapi juga di sisi Allah. Saat kita udzurpun, kita akan mendapat pahala amal yang selalu kita lakukan.
Sekalipun terasa berat menjaga konsistensi, tapi ayo terus lakukan.
Semangat.Semangat.
Wednesday, September 25, 2013
MERAWAT JIWA
Suatu hari aku mengunjungi sebuah sekolah dasar.
Saat asyik berdialog dengan Kepala Sekolah, terdengar sedikit kehebohan. Anak
yang berteriak-teriak dan meronta. Suara pintu berdebam ditendang kaki si anak
di sela teriakannya. Lalu beberapa bujukan guru mencoba menenangkan. Seorang
ibu guru memangku anak yang masih menangis keras.
Kepala sekolah menyebut nama anak itu. Beliau
langsung tahu tanpa harus menengok siapa yang
menangis. Aku berdiri dan melongok keluar jendela.
" Sudah beberapa kali, atau malah cukup
sering..."
" Kira-kira sebabnya apa bu...?"
" kalau menurut hasil konsultasi dengan
psikolog, pola asuh yang diterapkan ibunya. Karena kakaknya juga berperilaku
serupa. Sepertinya adiknya juga berpotensi demikian..."
Aku membayangkan ibunda anak itu. Satu dua kali aku
pernah bertemu, seorang perempuan cantik, sangat cantik malah, pintar dan kaya.
Terdidik tentu, karena dosen di sebuah perguruan tinggi. Hmm apakah benar
masalah pola asuh...?
Aku tak dapat menyimpulkan tanpa fakta.
" Apakah orang tuanya tahu masalah
ini...?"
" Tahu bu, kami sudah beberapa kali dialog.
kalau versi orang tuanya dia di rumah anak manis....namun dilacak di TK dulu
ternyata sudah terjadi hal serupa ini "
" Kalau sebab pemicu kemarahan anak ini apa bu
?"
Waah kok jadi wawancara.
Sungguh bukan sekedar ingin tahu, aku meniatkan diri menjadi pengamat pendidikan anak, agar aku menjadi praktisi yang belajar dari situasi seperti apapun.
Sungguh bukan sekedar ingin tahu, aku meniatkan diri menjadi pengamat pendidikan anak, agar aku menjadi praktisi yang belajar dari situasi seperti apapun.
" Masalah sepele saja bu. Kadang ia tak bisa
menerima konsekwensi dari kesepakatan atau tersinggung oleh temannya ..."
Jelas kepala sekolah.
Aku jadi ingat beberapa kasus anak yang sulit dan
orang tuanya berkonsultasi padaku. Ada yang menolak makan dan minum. Orang
tuanya menjadi direpotkan oleh anak TK besar ini dari sejak ia bangun hingga ia
tidur lagi. Bahkan orang tuanya tak punya waktu kecuali saat ia berada di
sekolah. Setelah saya gali, masalah justru ada pada ibunya.
Atau anak belum berusia tiga tahun yang sering
mengamuk dan tak jelas maunya, sehingga sering dimarahi oleh orang tuanya.
Apalagi saat ia punya adik,tingkah lakunya semakin menjadi. Sekali lagi,
masalahnya ternyata ada pada kedua orang tuanya.
Kata rekanku yang ahli Psikiatri, kadang saat
menangani satu klien, sesungguhnya ia menangani beberapa klien sekaligus. Misal seorang ibu yang membawa anak gadisnya yang
stress berat. Ternyata dari penggalian sang psikiater, penyebab sress adalah
sikap, pola asuh dari orang-orang terdekatnya. Jadi yang seharusnya diterapi
bukan saja klien, tapi juga ibu dan bapaknya.
Dalam sebuah keluarga tentu saja semua saling
berhubungan. Apalagi antara orang tua dan anak. Kesalahan dalam pola asuh,
ternyata berpengaruh besar pada karakter dan kesehatan jiwa anak.
Kesimpulan saya adalah : mari merawat jiwa anak
yang menjadi amanah Allah, dengan memulai dari merawat jiwa kita sendiri.
Agar tidak menyesal di kemudian hari.
Silahkan berbagi pengalaman anda , cara merawat
jiwa ini......
KASIH IBU SEPANJANG JALAN
Kasih
ibu kepada beta
Tak
terhingga sepanjang masa
Hanya
memberi tak harap kembali
Bagai
sang surya menyinari dunia
Lagu itu sangat indah menurutku. Cocok menggambarkan kasih
sayang ibuku padaku. Kuceritakan ya
tentang ibuku.
Nama ibuku Lasmiati, itu adalah nama pemberian kakekku. Ibu
adalah anak ke dua dari lima bersaudara. Masa kecil hingga sekolah dan menikah,
ibu tinggal menjadi anak asuh mbah Bun yang sebenarnya adalah kakak sepupunya.
Mbah bun tak punya anak perempuan, hanya dua anak laki-laki, jadi ibu memiliki 2 adik laki-laki dari ibu
angkatnya.
Ibu lahir pada tanggal
13 Agustus 1945. Tanggal lahir ibu ada
2, aku sendiri tidak tahu asal-muasalnya. Namun mungkin begitulah pada masa
dahulu, administrasi kurang bagus, dimana situasi keamanan masih belum stabil.
Ibu bersekolah SD di Slahung, kota kecamatan tempat tinggal
ibu. Lalu sekolah SMP di SMP Muhamadiyah Ponorogo. Setelah lulus SMP, ibu
menikah dengan ayahku dan diboyong ke jogjakarta. Saat itu ayahku sedang
menempuh kuluah S1 di IAIN Jogjakarta. Sekarang kampus itu telah berganti nama
menjadi UIN.
Kehidupan yang berat telah dilalui ibu sejak kecil. Ibu
angkatnya adalah seorang pedagang kelontong yang sangat ulet. Maka ibukupun
harus bekerja keras disetiap hari disela-sela waktu sekolahnya. Juga mengasuh
dua adik angkatnya.

Aneka cobaan hidup pernah dialami ibu. Saat hamil anak
pertama, atau kakakku, ibu mengalami kecelakaan. Akibatnya kakinya patah di
paha, giginya rompol tujuh dan rahangnya bergeser sendinya. Ibu melahirkan anak
pertama dalam keadaan masih opname akibat kecelakaan. Hingga kini, dampak dari
kecelakaan tersebut masih terasa. Ibu menjadi mudah pusing sepanjang hidupnya,
dan menderita sinusitis. Kakinya juga terasa nyeri jika berjalan lama atau naik
tangga. Dalam keadaan demikian, ibuku tetap pekerja keras. Ketika kami pindah
ke Wonogiri setelah penempatan bapak, ibu membuka lagi warung kelontong.
Rumah kontrakan orang tuaku pernah terbakar. Aku tidak bisa
mengingatnya, karena aku masih terlalu kecil. Ibu pernah mengalami saat-saat
sulit mendampingi kakakku yang sering sakit. Pernah jatuh dan patah tangannya.
Sepertinya semua jenis mushibah pernah dialaminya.
Terakhir selama sekitar 5 bulan, ibu mendampingi bapak yang
terkena kanker mesenterium pada masa pensiunnya. Bapak harus dirawat di rumah
sakit, dan ibu selalu setia mendampingi, tak pernah semalampun ibu meninggalkan
bapak. Ibu selalu tidur di RS, disamping bapak.
Setelah bapak meninggal, ibu berjuang menyekolahkan dua
adikku yang belum lulus S1. Kami bahu membahu mencari biaya pendidikan yang
tidak sedikit.
Sekarang ibu memilih tinggal bersamaku. Inilah rejeki bagiku,
dan anak-anakku. Ibu masih giat beraktifitas dan jarang mengeluh walaupun
kadang tengah menderita sakit.Ibu membantuku mengelola rumah daat aku harus
keluar kota. Ibu sangat menyayangi anak-anakku
bahkan tanpa syarat.
Semoga Allah menerima semua amal ibadah ibuku. Semoga Allah
menjadikan kami anak yang berbakti kepada orang tua.
BELI MAINAN KE JEPANG
“ Umi aku mau sodaqoh mainan...” kata Revo sambil memilih
milih mainannya. Kulihat ia meletakkan beberapa mainan di kursi. Ada robot yang
telah kehilangan anggota badan, ada juga yang masih utuh. Ada beberapa
mobil-mobilan yang tidak lagi ia inginkan walaupun masih bagus.
“ Mengapa kamu pengin sodaqoh po ?” tanyaku ingin tahu.
“ Kata abi, kalau aku menjual atau sodaqoh mainan, aku boleh
beli mainan lagi...Aku ingin ultraman nexus yang bagus...”
Kubiarkan saja ia terus memilih mainan. Setelah ada sekitar 15
mainan terkumpul, ia menoleh lagi ke arahku.
“ Sudah banyak Mi, tapi sebenarnya aku mau memberikan semua
mainanku biar boleh beli yang banyak...kalau menjual kan sulit jadi sodaqoh
saja . Umi ini diberikan ke siapa ya...?”
“ Ya nanti ke Udin...” kataku. Udin adalah anak asisten rumah
tanggaku.
“ Bintang juga, Naufal, Ahmad trus teman-teman sekolahku...”
kata Revo dengan semangat.
“ Waah kalau teman sekolahmu, nanti tidak cukup...kan temanmu
banyak...”
Revo setuju untuk membagikan hanya ke tetangga.
Aku mengambil tas dan memasukkan mainan yang telah dipilihnya.
Revo beralih ke komputer. Membuka YouTub dan mencari gambar
ultraman.
Setelah menemukan ia berteriak gembira.
“ Umi aku sudah menemukan yang akan dibeli....besok pagi kita
harus ke Jepang !”
“ Ke Jepang ? Ngapain Po ?”
“ Beli mainan yang asli. Ini bagus sekali...!”
“ What ? ke Jepang untuk beli mainan....?!” si Nomer 4
nimbrung sambil geleng-geleng kepala. Aku memberi isyarat agar ia tidak campur
tangan dalam percakapanku dengan Revo.
“ Boleh saja kita ke Jepang, tapi harus beli tiket dulu. Kalau
mau beli tiket harus punya paspor dan
visa, baru boleh beli tiket.”
“Paspor itu apa ? Visa itu apa ?” tanyanya penuh minat.
“Paspor itu buku catatan untuk perjalanan keluar negeri. Keterangan
bahwa kita orang Indonesia yang baik yang boleh pergi ke mana-mana di negara
lain. Kalau visa itu ijin berkunjungdari negara yang didatangi. O jepang sudah
membolehkan kita berkunjung ke sana, nah baru kita beli tiket...”
Revo manggut-manggut entah faham entah tidak. Mungkin ia
berusaha mencerna.
“Kalau urus paspor dan visa, mungkin kita butuh biaya 5 juta.
Tiketnya juga 5 juta, pulang pergi 10 juta. Jadi 1 orang ke jepang butuh uang
15 juta. Kalau umi ikut, abi ikut, bertiga kita butuh uang 45 juta. Belum yang
untuk beli mainannya...” kataku memberikan gambangan kasar pembiayaan yang
persisnya aku sendiri kurang tahu harga tiketnya.
“ Abi punya uang tidak 45 juta ?” tanya Revo serius.
“ Sekarang belum punya..... Abi harus jual mobil dulu kalau
mau punya uang cepat.”
“ Ya mobilnya dijual besok pagi...tapi mobil yang mana ? “
tanyanya serius.
“ Yang punya kita kan cuma sedan, punya abi, sama visto, kalau
visto dijual kan umi nggak bisa kemana mana...” kataku.
“ Ya sedan saja...bilangin abi, besok dijual ya..”
“ What ?! Jual mobil untuk beli mainan...?!” si nomer 4
nimbrung lagi.
“ Settt.!” Aku memberi isyarat lagi dengan tertawa tertahan.
“ Tapi Po, kalau mau jual mobil itu, mobilnya harus dipotret
dulu, trus dimuat nih di toko bagus, atau berniaga.com. Nih umi tunjukkin...”
Aku membuka situs tersebut dan menunjukkan pada Revo contoh
orang jualan aneka barang.
“ Nih...ada rumah, ada mobil, ada mbak-mbak ( sebenarnya
nawarin mobil), ada bayi ( sebenarnya nawarin pakaian bayi)...”
“ Ada kucing...!” seru Revo gembira.
Kami jadi asyik melihat-lihat aneka barang yang dijual. Burung
juga ada, anjing...kamera, alat musik...dan Revo justru tertarik dengan aneka
barang yang ditawarkan.
“Kalau sudah di foto, dipasang di sini, belum tentu sehari
dua hari laku, jadi harus sabar...OK ? Besok Revo cerita dulu rencananya ke
abi....”
Revo mengangguk gembira dan kami beralih ke aktivitas
mengerjakan Pe eR.
Malamnya saat abinya pulang, aku menunggu cara Revo
menceritakan hasil pembicaraan kami.
“ Abi, besok kita jual mobil untuk beli mainan ke Jepang
ya...? Umi tadi nunjukkin jualannya di komputer. Ada bayi juga lho Bi, ada
kucing, ada mbak-mbak...bla-bla ..besok tak tunjukkin ya Bi di komputernya...”
Abinya yang terlongong-longong hanya mengiyakan saja.
Namun pagi ini, Revo berubah rencana.
" Mi, beli mainannya juga bisa ke Amplas. Aku pernah lihat di sana juga ada ultramen nexus...Jadi kita tidak harus ke Jepang" Hmm. Begitulah, ganti hari ganti rencana. Entah siang nanti berubah apa.
Kubiarkan saja semalam ia punya keinginan pergi ke Jepang. Walaupun
tujuannya sungguh sederhana dan menggelikan: membeli mainan. Tapi itulah
dunianya saat ini, dunia bermain.
Malam sebelumnya kami sibuk membuat model rumah, garasi dan lapangan parkir dari kardus bekas. Ia menikmatinya dan sangat gembira dengan miniatur sederhana itu. Malam ini ia ingin ke Jepang membeli robot. Entah besok apa lagi yang diinginkannya.
Malam sebelumnya kami sibuk membuat model rumah, garasi dan lapangan parkir dari kardus bekas. Ia menikmatinya dan sangat gembira dengan miniatur sederhana itu. Malam ini ia ingin ke Jepang membeli robot. Entah besok apa lagi yang diinginkannya.
Keinginan tersebut tidak kupatahkan dengan alur berfikir orang
dewasa yang mungkin memandang mimpinya adalah kesia-siaan: Masak ke Jepang
hanya beli mainan...yang benar saja.
Biarlah Revo sekarang menginginkan itu. Masih banyak waktu
bagiku untuk menjelaskan secara bertahap tentang prioritas, dan sebagainya.
Dalam diskusi kami tadi ia menjadi mengerti tentang jual beli on line, tentang
paspor, visa, proses mencari pembiayaan untuk mewujudkan impian. Yang lebih
penting adalah memperhatikan mimpi-mimpi anak dan pendapatnya. Bagian dari
upaya merawat jiwanya.
Terus bermimpilah anakku. Kudoakan suatu saat kelak engkau
bisa ke Jepang, bukan sekedar membeli mainan. Tapi sambil membeli mainan juga
boleh. (Ayahnya waktu ke Jepang juga membeli oleh-oleh mainan).
‘
Monday, September 23, 2013
PERTENGKARAN KARENA ANAK SULIT MAKAN
Kasus 1
Ibu A dan bapak B
menikah 7 tahun yang lalu. Punya seorang putri 5 tahun, duduk di sekolah TK.
Masalah bagi bapak B, ibu A sangat perhatian terhadap kesehatan putrinya. Ia memaksakan untuk putrinya
harus minum 1 gelas air tiap 2 jam. Makan dengan jadwal dan jumlah gizi yang
telah ia hitung. Akibatnya anaknya justru menolak makan dan minum. Sepanjang
hari sejak si anak bangun hingga malam jam 22.00. ibu A disibukkan dengan
memasukkan porsi makan yang ia inginkan. Seringkali si anak ngambek dan mogok
makan minum. Akibatnya terjadi pertengkaran pada ibu anak dan merembet pada
pertengkaran suami istri. Bahkan orang tua yang tinggal persis di sebelah
rumahnya ikut campur tangan dan menjadi konflik menantu mertua. Ibu A
disalahkan atas strokenya bapak mertua, dianggap pertengkaran suami istri itu
yang memicu stroke sang kakek.
Bapak B datang pada saya
setelah ibu A, pulang ke rumah orang tuanya tanpa ijin suaminya, setelah malam
sebelumnya mereka bertengkar atas topik yang sama.
Ulasan :
Saya mencoba menggali
riwayat pernikahan mereka dan masalah penting lain dari sisi bapak B. Ternyata
dari cerita satu fihak, saya selalu sampai pada kesimpulan yang sama untuk
setiap kasus pertengkaran dalam keluarga.
Yaitu bahwa tak ada yang
mutlak salah dan tak ada yang mutlak benar.
Kedua belah fihak punya
andil salah yang prosentasenya selalu bergeser dari waktu ke waktu. Kadang
dalam satu pertengkaran, lebih banyak penyebabnya pada fihak istri. Lalu pada
proses selanjutnya justru suami yang mengambil porsi kesalahan lebih banyak
Maka saya katakan kepada
bapak B.
“ Karena yang datang
kepada saya adalah bapak B, maka saya akan memulai dengan bapak. Bersediakah
bapak bekerjasama untuk menyelesaikan masalah ini ?” Setelah bapak B
menyetujui, maka saya sampaikan beberapa saran.
1. Sebagai seorang
suami, saya ajak ia untuk menegakkan keqowaman dengan memberi ruang pada
istrinya untuk membina diri. Difasilitasi untuk ikut pengjian dan beberapa
seminar serta pelatihan pendidikan anak, agar istri lebih luas pengetahuan dan
wawasannya. Ini adalah untuk kebaikan jangka panjang. Kalau ada dana juga
berlangganan majalah atau tabloit yang terkait pembinaan diri dan pendidikan anak.
2. Memulai dengan
memberi teladan dalam bersikap, berbicara dan mengambil keputusan. Lebih
menunjukkan kasih sayang pada istri, karena istri yang dilimpahi cinta oleh
suami, akan memiliki lebih banyak energi untuk mencintai anaknya. Sering
mengajak istri dan anak untuk rekreasi sederhana seperti naik motor sore-sore
nonton kereta api, atau silaturahmi ke rumah teman istri, agar istri lebih
rileks menjalani kehidupan.
Saya juga mengarahkan
beberapa sikapnya yang kurang tepat, yang sempat ia ceritakan, seperti saat
menyuruh istrinya pulang ke rumah orang tuanya jika hanya mengajak bertengkar
terus. Atau mengatakan jangan pernah lagi membuatkan teh pagi untuk suami jika
tidak ikhlas. Saya minta ia meminta maaf dan menjemput istrinya dengan membawa
oleh-oleh sederhana yang akan menyenangkan istrinya.
3. Saya minta ia
mengajak istrinya untuk bertemu dengan saya. Menjadi bagian saya sementara ini
untuk menasehati istrinya, pada saat istri sedang marah dan tidak mau lagi
mendengarkan suaminya.
Bagian dia adalah berbuat
baik dan membujuk istrinya untuk menemui saya. Nasehat dan arahan menjadi
bagian saya.
Pada awalnya ia tidak
yakin akan berhasil membawa istrinya menemui saya. Saya yakinkan bahwa
keinginan kuat dari seorang suami untuk mempertahankan rumah tangga, dan doa
serta munajat pada Allah, akan diberi jalan dan dimudahkan. Alhamdulillah Bapak
B pulang dengan harapan baru.
Dua pekan berselang,
bapak B mengontak membuat janjian untuk bertemu saya. Alhamdulillah pada suatu
malam yang dijadwalkan, kami bertemu.
Kulihat istrinya seorang
perempuan manis yang pendiam. Ia membentengi diri dan nampak apatis. Senyumnya
sangat terpaksa, dan tak sepatah katapun keluar selama bertamu kecuali
menyebytkan namanya sendiri.
Aku tidak melakukan
banyak nasehat, hanya berbasa-basi dan bergurau saja untuk memecahkan
pertahanannya. Sedikit arahan tentang rumah tangga saya sisipkan hanya
dasar-dasarnya saja. Hingga pulang, tak ada kemajuan berarti. Saya pun nyaris
putus asa.
Pekan berikutnya sungguh
saya terkejut mendapat SMS dari ibu A yang ingin membuat janjian bertemu secara
pribadi dengan saya.
Jadilah kami bertemu dan
mengobrol, 2 kali malah. Dia bercerita banyak, menangis dan tertawa
menceritakan seluruh perjalanan hidupnya. Saya sampaikan penghargaan betapa ia
adalah perempuan yang kuat dan penuh cinta. Hanya sebagian sifat baiknya
tertutup lantaran terlalu fokusnya ia pada hal yang cukup parsial. Saya juga
sampaikan betapa besar cinta suaminya padanya, namun saya lihat sebagai orang
yang tidak romantis, suaminya gagal atau belum berhasil mengekspresikan
cinta dengan indah.
Saya sampaikan pendapat
saya tentang cinta mereka yang tertutup kabut ego, sikap bawaan masa lalu dan
problem sederhana yang sekarang mereka hadapi.
Alhamdulillah ibu A
minta pertemuan kedua pekan berikutnya setelah kami merumuskan PR-PR yang
disanggupinya. Kami berbincang layaknya kaka dan adik tanpa sekat psikologis
lagi.
Saya sampaikan bahwa
tugas ibu A adalah merubah dirinya sendiri, bukan merubah suaminya. Berfokus
pada kebahagiaannya sendiri dengan sikap positif, tidak terpengaruh respon
suami atau keluarga besar yang bisa disalah fahami. Adapun suaminya, menjadi tanggung jawab saya
sementara ini untuk menasehatinya. Tentang anaknya, saya berikan beberapa
wawasan dan pengalaman dalam pendidikan anak.
Demikain pertemuan
dengan ibu A saya sampaikan pada bapak B secara ringkas berikut permintaan agar
bapak B memberi dukungan
pada perubahan yang akan dilakukan ibu A.
Beberapa bulan berlalu,
suatu ketika ibu B mampir untuk bertemu denganku dengan wajah yang jauh lebih
cerah. Ia hanya mampir untuk memberiku buah tangan dan mengabarkan bahwa
situasi rumah tangganya sekarang jauh lebih baik. Ia merasa telah menemukan
kunci untuk meraih hati suaminya dan meraih
kebahagiaan bersama.
Tentang beberapa bahasan
anaknya yang sulit makan, akan saya kupas dalam artikel dunia anak.
Semoga seterusnya mereka
menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah. Amin.
gambar pinjam dari : http://animasi-bergerak.blogspot.com
Sunday, September 22, 2013
Standar berbeda untuk keluarga
Pernahkan suatu ketika anda tanpa
sengaja menyenggol atau menginjak orang yang belum anda kenal. Mungkin di
kendaraan umum, di tempat belanja, di terminal, di trotoar, di rumah makan atau
di tempat keramaian yang lain.
Apa yang kemudian anda ucapkan pertama kali ?
“Maaf tidak sengaja.. “ Tentu dengan tatapan bersalah, anda
akan segera meminta maaf.
Pernahkan ketika anda sedang berbincang dengan rekan kerja
anda, sahabat, relasi atau orang sudah anda kenal, tiba-tiba wajah teman
berbincang tersebut berubah. Menampakkan suasana hatinya. Jika anda merasakan
perubahan tersebut, anda akan bertanya,
“ Maaf, apakah saya telah menyinggung perasaan anda?”
“ Maaf, apakah pertanyaan saya membuat anda tersinggung...?
Kalau begitu lupakan saja”
Itu adalah dialog dan etika sehari-hari yang kita pakai pada
umumnya.
Demikian pula ketika seseorang yang tidak anda kenal berbuat
baik kepada anda. Suatu ketika tanpa sengaja ada barang anda yang tercecer,
mungkin pulpen, buku, kaca mata, topi atau dompet. Lalu seseorang mengejar anda
untuk mengembalikan barang tersebut. Tentu anda akan mengucapkan terima kasih.
Semakin besar nilai barangnya, anda akan semakin amat sangat berterima kasih.
Ketika seorang rekan berbaik hati membawakan barang anda,
menawari anda permen atau tisu, atau kebaikan kecil lainnya, anda akan
berterima kasih. Jika kebaikan itu dilakukan berulang-ulang, anda tentu ingin
membalasnya.
Itu juga bagian dari etika dan akhlaq yang baik.
Namun pernahkan anda memperhatikan hubungan dalam sebuah
keluarga.
Justru antara suami dengan istri, atau istri dengan suami,
atau orang tua dengan anak dan sebaliknya. Dalam hubungan yang sangat intens
dan berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil ada hal-hal yang membuat
tidak nyaman. Kesalahan kecil atau bahkan kesalahan besar. Namun apakah terjadi
pola segera meminta maaf?
Ketika ada kata-kata yang
menyakitkan, ketika meninggalkan musyawarah dalam mengambil keputusan, ketika lupa
janji. Terasa berat untuk meminta maaf justru pada orang yang dekat, dengan
pasangan atau dengan anak. Padahal istri sampai menangis tidak dapat tidur
karena terluka hatinya. Padahal anak sampai terisak-isak lantaran sedihnya.
Atau mungkin suami sudah sangat geram
dan sedih lantaran perbuatan istri.
Demikian pula dalam hal mengukur
dan menghargai kebaikan pasangan, anak atau orang tua. Seorang istri yang
mendapat nafkah bulanan dari suaminya, apakah setiap kali suaminya memberi maka
ia mengucapakan terima kasih ?
“Alhamdulillah, terimakasih ayah, atas uang belanjanya..”
Namun tak jarang yang justru memberengut, dan berkata ketus:
“ Kok cuma segini ayah, mana cukup...?!”
Atau mungkin ada yang berdalih, “ kan suami memberi istri
itu adalah kewajibannya, jadi memang seharusnya demikian. Tidak perlu setiap
kali berterimakasih...”
Ketika pasangan mau melayani hubungan, ketika suami memberi
nafkah bati, pernahkan terucap terima kasih kepada pasangan ?
Saat seseorang tidak melakukan
kewajiban, secara umum akan dianggap sebagai orang yang tidak baik.Maka setiap
orang melakukan kewajiban, tentu merupakan kebaikan.Bukankah tukang parkir yang
membantu anda memutar mobil, dan andapun membayarnya, masih anda ucapkan terima
kasih...?
Ada pasangan yang telah lama pisah
ranjang lantaran istri menolak melayani suami, atau sebaliknya suami yang tak
pernah lagi memberi nafkah batin, padahal pasangannya sangat membutuhkan. Jika
ada yang melakukan kewajiban tersebut, bukankah itu kebaikan yang layak untuk
mengucap terima kasih.
Sebaliknya juga seorang suami yang
menyaksikan istrinya melakukan banyak hal untuk dirinya dan anak-anaknya.
Mendapati anak yang sudah dimandikan, wangi bersih dan sehat, acapkali seorang
ayah menganggap biasa saja. Tak ada terima kasih pada istri yang telah
melakukannya. Namun jika pembantu yang melakukan dan menyerahkan anak yang
sudah bersih dan cakep itu, sang ayah akan bilang “ terima kasih bik..”
Seorang istri yang sudah ikut
banting tulang mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, membantu
menemani anak belajar, membuat minum, menyuapi anak, memasak makanan....belum
tentu terucap terimakasih dari suami dan anak-anak.
Jika anda membayar guru les privat
yang menemani anak belajar selama 1 jam, dan anda telah membayarnya, ia
berpamitan dan anda akan mengucapkan terima kasih. Apalagi jika nilai anak
menjadi bagus, mungkin anda rela memberinya bonus. Para suami yang mendapati
istrinya membimbing anak segera bisa membaca, menjadi juara dan berprestasi,
belum tentu berterima kasih atas semua jasa istrinya.
“ Ah kan kewajiban ibu untuk menemani belajar dan mendidik
anak...” sesekali ada juga yang berdalih demikian.
Lah, kalau ada ibu yang menelantarkan anaknya, anak belajar
malah ditinggal nonton sinetron. Anak lapar tidak diberi makan, anak sakit
dibiarkan...apakah itu perbuatan baik? Tentu orang akan menyumpahi...,” ibu
macam apa itu!”
Jadi, jadi...
Hmm mulailah merenungkan. Apakah
diri kita bagian dari ilustrasi standar ganda? Dimanakah posisi anda? Apakah
anda adalah orang yang mudah meminta maaf kepada orang asing dan enggan untuk
segera meminta maaf pada istri atau anak. Semoga tidak demikian. Semoga anda
adalah orang yang ringan untuk meminta maaf dan memaafkan pasangan.
Apakah anda orang yang pelit berterimakasih kepada pasangan
dan anak, sementara mudah berterimakasih kepada teman atau orang asing...?
Jika demikian, saatnya untuk bertaubat. Sadarlah, segera
meminta maaf dan segera berterima kasih.Sebelum terlambat.
Maaf jika ada yang tersinggung.
Sekedar perenungan dan pengingatan ya...
Saturday, September 21, 2013
HARGA PEMBELAJARAN.
HARGA PEMBELAJARAN
" Umi aku mau
minum...hauss..." kata Revo, 6 tahun, sambil main game di depan komputer. Hari sabtu
ini ia punya sedikit waktu luang sebelum pergi ke acara POMG di rumah salah
seorang temannya nanti jam 08.30.
Aku yang sedang jadi emak
blogger, menoleh ke arahnya.
" Ayo umi temani bikin minum
ke dapur...."
Revo bangkit dengan enggan
setelah mem-pause game nya.
Menuju rak piring ia mengambil gelas
terbesar yang kami miliki. Volumenya mungkin sekitar 500 cc.
" Gelasnya pakai yang
ini..." serunya gembira. Aku yang mengekor dibelakangnya, mengiyakan dan
mengembalikan gelas biasa yang telah kuambil.
" Gelasnya taruh dimeja,
sekarang ambil airnya di kulkas...." kataku sambil menyiapkan nutrisari
rasa jeruk kesukaannya. Revo berusaha menuangkan air dingin ke dalam gelas. Beberapa
genangan kecil berceceran di meja makan. Seperti merasa bersalah, ia menyentuh
genangan air itu dengan ujung telunjukknya lalu..
" Eitt....jangan dijilat,
nanti ambil lap untuk mengelap..." Aku sigap memegang jarinya yang nyaris
masuk muluk. Revo meringis malu.
" Ini nutrisarinya dituang sendiri..." aku mengangsurkan sachet kekuningan.
" Ini nutrisarinya dituang sendiri..." aku mengangsurkan sachet kekuningan.
" Tapi ini butuh dua biar
enak..." tawarnya.
" Okee..." kutambah
lagi satu sachet.
" Revo bisa, ayo belajar
kekuatan tangan. Ini juga ada gunting....kan Revo sudah tahu caranya."
Tangan mungilnya ternyata sungguh
kuat, tanpa gunting ia menyobek...dan blarr. Sachet terbuka dengan cukup lebar hingga
sebagian isinya bertebaran ke lantai.
" Ini yang bisa diselamatkan
..." kataku sambil menuang bagian yang tersisa ke dalam gelas.
" Yang satunya pakai gunting
saja..."
Sukses membuka dan menuangkan, ia
mengaduk-aduk hingga rata. Aku mengambil kain lap dan membereskan kekacauan
yang ditimbulkan dari proses membuat minum itu.
" Sekarang umi yang
bersihkan, besok kalau ada yang berceceran lagi, Revo sendiri yang membereskan
ya..."
Ia mengangguk dan mulai
menyeruput minumnya. Sambil senyum-senyum melek-merem , ia menggunakan sendok
berulang-ulang. Sepertinya sangat menikmati.
" Enaak....?"
" He-eh "
" Revo pinter bikin minum
sendiri ya..."
" He-eh"
" Besok kalau haus gak usah
minta dibikinan sama eyang, Revo insya Allah bisa bikin sendiri..."
Itulah episodeku pagi tadi.
Setiap hari adalah pembelajaran
bagi kami. Bagiku belajar untuk menjadi orang tua yang seharusnya telaten
melatih anak mandiri. Dan tentu juga bagi Revo.
Godaan menjadi orang tua yang
mengaku sibuk sepertiku, kadang inginnya cepat. Padahal anak butuh waktu untuk
proses belajar. Mungkin aku memang bisa membuatkan minum dalam hitungan detik,
tanpa harus mengelap lantai dan meja. Namun untuk proses pembelajaran, mungkin
5- 10 menit harus kuluangkan menemani setiap langkahnya, mengomentari dan
memaknainya.
Itu masih terus berlanjut dalam
proses menemani mandi yang bersih dan benar, berpakaian, menghabiskan
sarapan....
Kesabaran dan waktu adalah harga dari
sebuah proses pembelajaran, dengan bumbu sedikit repot.
Tidak apa-apa ya, untuk masa
depan anak kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)