Sunday, June 29, 2014

Dia Selingkuh 8 kali.


Perempuan cantik yang duduk di depanku, tersenyum samar dan hambar. Tak ada lagi air mata.

“Apakah ibu lupa dengan saya? Dua tahun yang lalu saya ke sini untuk konsultasi...”
Aku masih tersenyum ragu. Terlalu banyak orang datang dan pergi dan tak tahu lagi yang mana. Sekilas ia mengungkap jati dirinya.

“Dulu saya belum pakai jilbab, dan ibu menyarankan saya dan suami untuk umrah...”
Naah nyambung deh. Saya membayangkan sosoknya dua tahun lebih yang lalu saat beruraiair mata mengisahkan hidupnya yang tak bahagia.

“Dua belas tahun menikah dan dia selingkuh 8 kali....”
Ia hendak mengurai satu persatu kasus serta berbagai bukti yang dibawanya, tapi saya mencegahnya.


“Tiap lebaran ibu dan suami saling bermaafan kan? Jadi yang telah lalu mengapa harus diingat-ingat...sampaikan saja kasus terakhir ya...”

Sungguh memang banyak pasangan yang saling menyimpan sejarah pasangannya dan seluruh dosa-dosanya, bahkan setelah mereka saling memaafkan. Bukankah hal ini mencapekkan?

Menurut saya lebih enak kita memutihkan kesalahan pasangan saat ia telah mengakui salah, meminta maaf dan memperbaiki diri daripada kita menyimpan rasa sakit dalam dada.
Hmm mungkin karena saya tidak punya pengalaman empiris seperti ibu tadi. Ah semoga tidak pernah ya.

Dua tahun yang lalu dia mengadukan suaminya yang beselingkuh untuk ke 8 kalinya. Konon dulu-dulu setiap ketahuan suaminya selalu meminta maaf dan berhenti berhubungan dengan orang ke 3 itu. Tapi selalu kambuh lagi dan berulang.
Kali ini ia tak tahan lagi.

“Yang sekarang ini saya ragu-ragu apakah dia sampai berzina...” katanya sambil terisak-isak.
Singkat cerita dari panjang kali lebar pembicaraan kami, ia tetap akan memaafkan suaminya dan tidak ingin bercerai. Demi anak-anaknya.

Dulu saya menyarankan untuk umrah karena kulihat mereka hidup berkecukupan secara materi. Biasanya pergi berumrah cukup untuk menyelesaikan konflik karena ibadah berdua dan berdoa di tanah suci sungguh romantis dan berkesan.

Kuberi rekomendasi biro umrah yang ustadz pembimbingnya saya kenal. Sang ibu juga saya minta menghubungi secara khusus ustadz tersebut agar memberikan materi keluarga samara dalam acara umrah nantinya.

Setelah itu ia tak pernah mengontakku lagi. Dan saya melupakannya karena banyak datang kasus silih berganti.

Sekarang kutatap perempuan berjilbab rapi di depanku. Ia memainkan kuku-kuku tangannya yang lentik dan terawat rapi. Wajah cantiknya tidak bersinar dan matanya menatap redup.

Kadang saya juga tak habis pikir. Bagaimana keluarga terpelajar, kaya, berkedudukan dengan istri yang cantik tapi diuji dengan konflik keluarga seperti ini.

“Setelah pulang umrah, alhamdulillah suamiku jadi baik. Saya juga berjilbab dan berusaha rajin mengikuti pengajian. Kami merasakan kebahagiaan dalam keharmonisan rumah tangga. Tapi hanya dua tahun. Walaupun itu sudah mending karena biasanya hanya beberapa bulan sudah tergoda perempuan lagi. Sekarang dia kambuh lagi....bla...bla...”

Ia menceritakan kasus terbarunya.
Hmm beginilah konselor. Kalau mereka sudah baikan, akur dan bahagia, dilupakan. Giliran  kena masalah, baru datang ...

Kami membahasnya dan mencari beberapa solusi. Yang saya sungguh heran adalah ia tak lagi menangis.

“Saya tak punya lagi air mata untuk masalah ini bu. Saya bertahan hanya demi anak-anak. Anak-anak mulai besar dan  saya tak ingin melukai jiwa mereka....”

Saya tak berani bertanya, apakah masih ada rasa cinta di hatinya. Saya salut dengan ketegarannya dan tekatnya untuk terus mempertahankan keutuhan rumah tangga. Ia tak lelah berharap agar suatu ketika suaminya insyaf dengan semua tingkahnya.

Satu hal yang saya pesankan, bahwa hati dan sifat manusia akan selalu berubah. Jika ibu ini terus berusaha dan berdoa, tentulah hal itu tidak akan menguap begitu saja. Karena sejatinya setiap kebaikan akan berbalas kebaikan.

Saya juga memesankan untuk melibatkan anak-anak dalam mengajak ayahnya dalam lingkungan yang baik. Bagaimanapun lingkungan akan memberi pengaruh yang cukup besar. Saya juga sarankan untuk mereka pergi berhaji yang semoga akan membuat suaminya bertaubat.

Memasuki bukan Ramadhan tahun ini, saya ingat lagi pada ibu tersebut. Saya tak tahu lagi kabarnya apakah ia sedang bahagia atau bersedih. Apakah suaminya telah insyaf atau masih melakukan yang dulu dikeluhkan.

Tapi saya berdoa dan khusnudzon saja, biasanya kalau klien tidak datang lagi, mereka sedang baik-baik saja. Semoga.


Selamat menikmati ibadah Ramadhan, semoga keluarga anda bahagia dan menggapai taqwa. Amiin.

6 comments:

  1. Kasusnya hampir sama dg teman sy Mak...tp trakir teman sy minta cerai tp suami mengancam klo dia menuntut cerai, anak-anak akn dibawa pergi, suaminya kemudian berjanji utk berubah, teman sy mengatakan kpd sy sdh tdk ada rasa sm sekali kr sdh terlalu lama disakiti..tp dia jg tdk sanggup berpisah dr anak2...sy cm bs menyarankan berdoa yg banyak. kr Allah Maha membolak-balik hati manusia...kr sy jg sdh tdk tahu hrs mengatakan apa lg Mak Ida....pdhl dia sangat cantik, kehidupan berkecukupan, anak2 yg baik dan penurut...Qodarullah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya mak...masalah dan godaan datang tidak pandang bulu

      Delete
  2. Saya belum menikah, terkadang hal ini yang juga membuat saya agak takut menghadapi pernikahan. Kenapa ya mak, perempuan bisa segitu bertahan disakiti untuk anak-anaknya? Beberapa kali konflik seperti ini terjadi bahkan ke teman-teman yang lebih tua dari saya juga. What a strong women :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. kitra boleh memilih taqdir kita Widy, semoga kelak engkau menda[pat suami terbaik dan menjadi keluarga samara amiin

      Delete
  3. karena enggak ada kabar, mungkin sedang bahagia... semoga...

    ReplyDelete