Tuesday, May 6, 2014

Pisang kepedulian.

Putri sulungku

Hari Ahad aku mengajak putri sulungku belanja di pasar Ngipik. Itu pasar tradisional terdekat dengan rumahku. Pasarnya tidak terlalu besar, bisa dibilang kecil malah. Buka hanya sampai jam 12 siang. Setelah itu hanya satu dua pedagang yang berjualan di luar pasar.

Pagi ini di rumah saya membuat pengumuman, bahwa kami akan menjadi vegetarian seharian dengan aneka masakan tradisional. Saya berbelanja aneka bahan untuk memasak oblok-oblok, pepes tahu, bothok dan beberok terong.

Biasanya saya memilih penjual yang tidak terlalu dikerubuti pembeli. Namun yang wajahnya tidak judes...hehehe...


Kadang harganya tidak lebih murah dari pedagang lain, tapi saya tetap membelinya karena kasihan dengan dagangan yang hanya sedikit, mana pembeli juga sedikit.

Satu persatu masuk kantong plastik, daun mbayung, daun so, daun kemangi, tomat hijau, cabe hijau, pete, tahu putih, tempe semangit, terong, kelapa muda....

“Kelapanya diparut sendiri saja mi...” Kata putriku demi aku melihat tukang parut langgananku tidak buka lapak hari ini. Ada tukang parut lain, tapi saya tidak suka karena kelihatan jorok dan kumuh.

Kami meluncur pulang dan siap mengolah sajian pesta hari ini.
Berbelanja di pasar tradisional, jarang kulakukan karena setiap pagi ada pedagang sayur keliling yang mampir ke apotik. Itulah mak Tinah langgananku.

Jika hari libur dan saya longgar untuk berkutat di dapur, barulah saya menyempatkan ke pasar dan bisanya kuajak satu dua anakku agar mereka juga bisa terampil belanja di pasar tradisional.

Pasar tradisional bagiku adalah sarana rekreatif dan bersilaturahmi, saling mengenal dan bertegur sapa. Letaknya yang hanya 600m dari rumah membuat saya bertemu dengan banyak tetangga dan kenalan saat berbelanja. Kiranya fungsi sosial ini tak tergantikan dengan supermarket.

Selain itu juga pelajaran kepedulian pada kehidupan sederhana para pedagang pasar. Terkadang seorang nenek duduk menunggui dagangan yang sungguh sangat sedikit. Mungkin itu hasil buminya yang dia jajakan sendiri.

Kulihat jika sudah agak siang, mereka saling bertukar barang dagangan untuk melengkapi kebutuhan hidupnya dan menghabiskan barang dagangannya.

Penjual tempe menukar sisa tempenya dengan minyak goreng atau sabun pada pedagang kelontong di belakang lapaknya. Penjual ratengan pagi (makanan matang), membungkus sayur dan lauk pauk untuk ditukar beberapa bahan mentah bahan dagangan esok pagi.

Biarlah anak-anakku membuka mata pada realitas kehidupan dan kondisi ekonomi di sekitarnya. Itu akan membuat mereka menjadi anak-anak yang pandai bersyukur dan suka berbagi. Semoga.

Lho mana bagian kisah pisangnya?
Ini deh...

Kemarin malam anak sulungku pulang sekitar jam. 20.00.
"Umi aku bawa pisang..." katanya.
"Umi kan suka pisang...ntar diapain kek..."

Kuperhatikan selirang pisang yang diangsurkan anak gadisku di samping keyboard yang menyita perhatianku.
"Oke makasih Kak...btw tumben kamu beli pisang..."
Hmm padahal di rumah ada 2 tundun pisang panenan dari kebun sebelah.

"Habis yang jual embah-embah tua, kasihan banget...jadi kubeli. Itu Rp. 12.000 mahal apa murah?"
Kuperhatikan pisang kepok itu, kira-kira berisi 20 buah. warnanya kuning, sudah matang sempurna. Tapi bagian tangkai tandan sudah mengering.

"Ya biasa saja kak. Ini masih kurang tua, karena kurang gemuk-gemuk. Pisang tua itu gemuk berisi. Trus tandannya nih, kalau masih segar hijau artinya barusan panen dan masak pohon. Kalau ini nih sudah kering, jadi dia diperam agak lama...Kalau tua-an harganya paling tidak Rp.20.000"
Aku mengoceh kuliah bertema pisang kepok.

"Trus kenapa kalau muda dan diperam...?"
"Yaah biasanya kurang manis...tapi tergantung jenis pisangnya...ntar dicicip dulu rasanya...."

Hmm itulah gadisku. Aku melihat diriku dalam dirinya. Sering kuceritakan pada anak-anak bahwa kadang aku membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena kasihan pada yang jualan. Sesekali kuajak mereka mengunjungi pasar tradisional.

Dah kejadian berulang pada anak sulungku. Selalu berulang. Membeli sesuatu karena kasihan.

Alhamdulillah aku bersyukur bahwa ia punya kepekaan dan kepedulian dibalik sikap cueknya.


Ya Allah terus peliharalah nurani kepedulian ini pada anak-anakku. Amiin.



Masih tentang mendidik kepedulian ada disini.

Tentang info batita, di sini

20 comments:

  1. ijin share ya bu

    ReplyDelete
  2. waah seru ceritanya Mak, cerita belanja di pasar dan kepedulian :), inspiring

    ReplyDelete
  3. saya juga suka gitu, membeli karena kasihan lihat penjualnya yang udah sepuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mak Nara...ternyata punya selera sama denganku

      Delete
  4. Salam kenal Mak, saya jadi terharu membacanya. Memang berbelanja di pasar tradisional itu memang tidak tergantik ya. karena bekerja, saya selalu menyempatkan belanja setiap akhir pekan. Selain murah meriah, harganya bisa ditawar dan kulitas barangnya lebih baru. Dan kepedulian anak sulungnya perlu diacungi jempol deh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih Memez...saya juga kalau libur baru jalan ke pasar

      Delete
  5. beberok terong? baru denger ini...:D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu masakan khas NTT atau NTB. klik di linknya mak. ada fotonya di sana .

      Delete
  6. amiiin..asiknya masak sama buah hati ya mak...ntar kalo anakku gedean dikit diajak masak juga. Skarang mah takut kalau diajak ke dapur suka niup2 api gas takut meledak udah parno aja. Paling diajak motong2 aja hehe

    ReplyDelete
  7. Ooo tinggal di Ngipik ya mak. Dulu aku tinggal di Kotagede, trus rumahku aku jual untuk sangu pindahan ke Pekanbaru. Alhamdulillah anak2 sudah paham apa yang berusaha ditanamkan ortunya ke diri mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayo mak Lusi kalau ke jogja wajib menginap di rumahku. pokoknya wajib ya....

      Delete
  8. salut dgn anaknya mak yg udah punya kepedulian yg tinggi ya...hasil pendidikan karakter yg kuat dr kedua ortunya udah terlihat..semoga anak sy jg spt itu nantinya..punya kepedulian n kepekaan sosial..TFS mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. amiin, makasih kunjungannya mak. doakan dia jadi putri solihah

      Delete
  9. dari dulu smp sekarang pun ibu saya sering melakukan hal yang sama membeli karena kasihan... jadi menular kepada saya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukti nyata ya mak bahwa teladan orang tua berpengaruh kuat.

      Delete
  10. setuju dengan bagian 'wajahnya tidak judes' heheheh
    saya jadi ingat ibu saya, beli di tempat simbahsimbah atau yang kelihatan sepi gitu,
    eeh, mau gak mau, secara gak langsung saya juga jadi gitu :)

    ReplyDelete